Elemenlingkungan yang memengaruhi produktivitas tanaman adalah temperatur, kelembaban relatif, intensitas cahaya, angin, polutan, konsentrasi CO 2, serta pH, kadar nutrisi, dan kadar air media tanam.Media tanam yang digunakan bervariasi, ditentukan oleh praktik menanam yang digunakan. Penanaman dengan cara hidroponik tentu saja memerlukan penanganan pH, nutrisi, dan kadar air media tanam yang
Jawabanmenggunakan sinar matahariPenjelasan pengeringan menggunakan media sinar mataharia. Bahan lebih awetb. Volume dan berat berkurang, sehingga biaya lebih rendah untuk pengemasan, pengangkutan, dan Kemudahan dalam penyajiand. Penganekaragaman pangan, misalnya makanan ringan /camilan
Syaratalat dan ruang pengolahan hasil samping kacang-kacangan selain bersih dan kering juga perlu diperhatikan yaitu answer choices . Lantai harus keramik. Media pengeringan yang bahan serealia paling murah dan mudah yaitu answer choices . Pemanasan. Pengopenan. Teknik merebus bahan makanan dengan sedikit cairan, dalam panci
Jawabanpengeringan menggunakan sinar matahari Jawabanmenggunakan sinar matahariPenjelasanselain murah dan mudah pengeringan menggunkaan media sinar/panas matahari kita akan mendapatkan hasil lebih baik, serealia akan lebih awet
Ditulisoleh Sisi Edukasi 10 Des 2020. Berikut ini adalah berkas mengenai Teknik dan Proses Produksi Industri Pakan Ternak dalam Buku Proses Industri Pakan. Download file format PDF. Mudah-mudahan berkas mengenai inovasi Produk Pakan Bentuk Pelet ini bisa menjadi referensi bagi para peternak dalam rangka pengadaan pakan yang berkesinambungan
LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN SEREALIA DAN UMBI - UMBIAN Ekstraksi Pati Alami dan Modifikasi Pati Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teknologi Pengolahan Serealia dan Umbi – Umbian yang dibimbing oleh Mustika Nuramalia, Handayani, Oleh Amalia Dwi Lestari 1301107 Isnaeni Apriliani 1305572 Juliana M Nur 1306948 Mita Maharani Bahriah 1305741 Utari Nur Amalia 1300751 Winni Trinita Maulandhiyani 1304693 Yanni Handayani 1306681 Kelompok 6 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI AGROINDUSTRI FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2015 BAB I PENDAHULUAN Winni Trinita Maulandhiyani - 1304693 Latar Belakang Indonesia memiliki hasil pertanian berupa umbi-umbian yang cukup tinggi, diantaranya ubi kayu singkong dan ubi jalar. Pemanfaatan hasil pertanian ini di kalangan masyarakat digunakan sebagai sumber karbohidrat dengan cara mengolahnya secara sederhana untuk dikonsumsi langsung. Dalam industri pangan, komoditi ubi kayu singkong dan ubi jalar ini telah diolah dengan teknologi lebih tinggi untuk meningkatkan nilai ekonomis dari hasil pertanian ini. Singkong dan Ubi jalar dalam industri pangan, dapat diolah menjadi tepung atau patinya diekstrak untuk digunakan sebagai bahan pengisi, pengental, dan pembuatan gel, pembentuk film dan sebagai agen penstabil makanan. Namun pati alami yang berasal dari singkong dan ubi jalar memiliki keterbatasan fungsi karena sifat pati yang tidak tahan terhadap panas, kondisi asam dan tidak tahan terhadap pengadukan sehingga fungsinya sebagai pengental atau pengisi tidak akan maksimal. Keterbatasan yang dimiliki oleh pati alami memaksa industri membuat pati termodifikasi untuk menutupi kekurangan dari pati alami. Pada pati alami, amilopektin dan amilosa yang terdapat pada granula pati dihubungkan oleh ikatan hidrogen yang sangat rentan mengalami pemutusan selama proses gelatinisasi. Hal inilah yang menyebabkan pati tidak tahan terhadap pemanasan, pH rendah atau pengadukan. Oleh karena itu, pati dapat dimodifikasi untuk mengantisipasi kelemahan dari sifat pati alami. Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian ekstraksi pati cara basah dan cara kering serta modifikasi pati dari ubi kayu singkong dan ubi jalar untuk mengetahui prosedur ekstraksi pati alami baik dengan metode basah ataupun kering dan tahapan penting yang memerlukan pengendalian untuk memperoleh produk berkualitas. Selain itu, sebagai referensi bagi industri untuk menghasilkan pati termodifikasi dengan menggunakan tepung pati pregelatinisasi dan tepung pra masak. Tujuan Praktikum Mahasiswa dapat mengetahui prosedur ekstraksi pati alami baik dengan metode basah ataupun kering dan tahapan penting yang memerlukan pengendalian untuk memperoleh produk berkualitas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu Singkong dan Ubi Jalar Utari Nur Amalia – 1300751 Ubi Kayu Singkong Ubi kayu atau singkong berasal dari Brazilia. Dalam sistematika tumbuhan, ubi kayu termasuk ke dalam kelas Dicotyledoneae. Ubi kayu berada dalam famili Euphorbiaceae yang mempunyai sekitar spesies, beberapa diantaranya adalah tanaman yang mempunyai nilai komersial, seperti karet Hevea brasiliensis, jarak Ricinus comunis dan Jatropha curcas, umbi-umbian Manihot spp, dan tanaman hias Euphorbia spp Ekanayake et Klasifikasi tanaman ubi kayu adalah sebagai berikut Kelas Dicotyledoneae Sub Kelas Arhichlamydeae Ordo Euphorbiales Famili Euphorbiaceae Sub Famili Manihotae Genus Manihot Spesies Manihot esculenta Crantz Ubi kayu merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang menjadi sumber bahan baku utama pembuatan bioetanol karena mempunyai kemampuan untuk tumbuh di tanah yang tidak subur, tahan terhadap serangan hama penyakit dan dapat diatur masa panennya. Beberapa alasan digunakannya ubi kayu sebagai bahan baku bioenergi, khususnya bioetanol, diantaranya adalah sudah lama dikenal oleh petani di Indonesia, tersebar di 55 kabupaten dan 33 provinsi, merupakan sumber karbohidrat karena kandungan patinya yang cukup tinggi, harga di saat panen raya seringkali sangat rendah sehingga dengan mengolahnya menjadi etanol diharapkan harga menjadi lebih stabil, dan menguatkan security of supplybahan bakar berbasis kemasyarakatan Prihandana et al. 2007 Adapun unsur gizi yang terdapat dalam tiap 100 g singkong segar dapat dilihat dalam Tabel berikut Manfaat Tanaman Singkong 1. Sumber Terbaik Vitamin A Singkong digelari sebagai makanan super oleh Center for Science in the Public Interest berkat kandungan nutrisinya. Sebutir singkong ukuran sedang menyediakan lebih dari 200 persen kebutuhan harian akan vitamin A. Vitamin ini muncul dalam bentuk beta karoten, yang memberikan warna kuning oranye pada ubiWidowati, dan Damardjati, 2001.Vitamin A sendiri memberi manfaat untuk penglihatan, kulit, dan tulang. Singkong juga berfungsi sebagai antioksidan, membantu mencegah infeksi dalam pencernaan, saluran kencing, dan paru-paru. Dalam sebuah studi yang digelar oleh Kansas State University pada tahun 2003, dan dipublikasikan di The American Society for Nutritional Sciences, ditemukan hubungan antara kekurangan vitamin 8A dan emphysema infeksi paru-paru yang menyebabkan kesulitan bernafas Anonim, 2010. 2. Sumber Vitamin dan Mineral Singkong juga merupakan sumber terbaik vitamin C sepotong singkong memenuhi 66 persen kebutuhan vitamin C dalam sehari, tembaga, vitamin B6, zat besi, kalsium, potasium, dan mangaan. Singkong juga kaya serat. Menurut The Sweet Potato Council Inc., singkong masak yang dimakan beserta kulitnya menyediakan lebih banyak serat daripada seporsi oatmeal Anonim, 2010. 3. Mudah dicerna Kandungan patinya yang tinggi membuatnya kurang bekerja untuk sistem pencernaan, yang menghilangkan penyebab sakit perut. Seratnya yang tinggi mampu mencegah sembelit dan penyebab penyakit perut lainnya. Vitamin A, B, C, kalsium, dan potasiumnya membantu meringankan radang perut, dan masalah sejenis karena manfaat anti peradangannya Anonim, 2010. 4. Karbohidrat alternatif untuk yang sedang berdiet Singkong berukuran sedang yang tidak dimasak mengandung 112 kalori, bebas lemak dan bebas kolesterol, serta rendah sodium. Kandungan ini tentu akan berubah, tergantung cara memasaknya. Mengukus atau merebus singkong akan memunculkan rasa manisnya yang alami, namun dengan sedikit kalori Anonim, 2010. Singkong memiliki kadar Glycemic Index GI yang rendah, khususnya bila dibandingkan dengan roti putih atau nasi. Dari segi produk – produk olahan, singkong segar dapat dibuat menjadi produk olahan langsung dan produk awetan. Produk olahan langsung terdiri dari produk olahan kering misalnya keripik singkong dan kerupuk singkong dan produk olahan semi basah contohnya tape, getuk dan makanan tradisional lainnya. Untuk produk awetan olahan singkong dapat dijadikan produk tapioka, gaplek dengan produk turunannya antara lain tiwul, nasi rasi beras singkong, serta tepung singkong sebagai bahan baku untuk tiwul instan dan juga berbagai aneka kue, misalnya Brotel Brownies Tela, Sirobak Singkong Roti Bakar dan lain sebagainya Winarno, 2000. Ubi Jalar Ubi jalar atau ketela rambat atau “sweet potato” berasal dari Benua Amerika. Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian tengah. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, memastikan daerah sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah Amerika Tengah. Ubi jalar mulai menyebar ke seluruh dunia, terutama negara-negara beriklim tropika pada abad ke-16. Orang-orang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia, terutama Filipina, Jepang, dan Indonesia Purwono dan Purnawati, 2007. Ubi jalar Ipomea batatas termasuk dalam famili Cavalvuloceae. Varietas ubi jalar sangat beragam. Dua kelompok ubi jalar yang umum dibudidayakan adalah jenis ubi jalar yang memiliki daging ubi keras padat, kering dan berwarna putih; dan jenis ubi jalar dengan daging umbi lunak, kadar air tinggi dan warnanya kuning – oranye. Karbohidrat merupakan kandungan utama dari ubi jalar. Selain itu, ubi jalar juga mengandung vitamin, mineral, fitokimia antioksidan dan serat pektin, selulosa, hemiselulosa. Kadar pati di dalam ubi jalar ubi jalar segar sekitar 20%. Pati ubi jalar berbentuk bulat sampai oval, dengan diameter 3 – 40 µm dengan kandungan amilosa sekitar 15 – 25%,menunjukkan bahwa tepung ubi jalar dari varietas sukuh yang dibuat dengan pengeringan sinar matahari memiliki suhu gelatinisasi yang tinggi viskositas puncak tinggi 540 BU, dengan breakdown dan set back yang tinggi berturut-turut 75 BU dan 165 BU Moorthy, 2004. Manfaat lain ubi jalar yaitu untuk mengendalikan produksi hormon melatonin yang dapat bekerja menghasilkan kelenjar pineal di dalam otak. Melatonin merupakan antioksidan andal yang menjaga kesehatan sel dan sistem saraf otak, sekaligus mereparasinya jika ada kerusakan. Kekurangan asupan vitamin A menghambat produksi melatonin dan menurunkan fungsi saraf otak sehingga muncul gangguan tidur dan berkurangnya daya ingat. Keterbatasan produksi melatonin berakibat menurunkan produksi hormon endokrin, sehingga sistem kekebalan tubuh merosot. Kondisi ini memudahkan terjadinya infeksi dan mempercepat laju proses penuaan. Ubi jalar juga bisa dijadikan obat karena mengandung prebiotik. Prebiotik ini penting sekali karena sebagai pakan mikroba di dalam usus sehingga pencernaan akan menjadi sehat. Selain beta-karoten dan prebiotik, ubi jalar ternyata banyak mengandung zat antioksidan yang dapat dijadikan pewarna alami. Dengan rajin makan ubi jalar, ketajaman daya ingat dan kesegaran kulit serta organ tubuh tetap terjaga. Kombinasi vitamin A betakaroten dan vitamin E tokoferol dalam ubi jalar bekerja sama untuk mencegah stroke dan serangan jantung. Beta karotennya mencegah stroke sementara vitamin E ubi jalar merah mencegah terjadinya penyumbatan dalam saluran pembuluh darah, sehingga munculnya serangan jantung dapat dicegah. Manfaat tersebut didukung pula oleh kandungan serat dalam ubi jalar. Ubi jalar merupakan umbi-umbian yang mengandung senyawa antioksidan paling lengkap. Hampir semua zat gizi yang terkandung dalam ubi jalar mendukung kemampuannya memerangi serangan jantung koroner. Pati Juliana M Nur – 1306948 Pati merupakan karbohidrat yang terdiri atas amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah bagian polimer linier dengan ikatan α-1,4 unit glukosa yang memiliki derajat polimerisasi setiap molekulnya yaitu 102-104 unit glukosa. Sedangkan amilopektin merupakan polimer α-1,4 unit glukosa yang memiliki percabangan α-1,6 unit glukosa dengan derajat polimerisasi yang lebih besar yaitu 104-105 unit glukosa. Bagian percabangan amilopektin terdiri dari α-D-glukosa dengan derajat polimerisasi sekitar 20-25 unit glukosa Kusnandar, 2011. Jumlah pati yang dihasilkan dengan beberapa perbandingan molekul amilosa dan amilopektin tergantung dari sumber tanaman asal, seperti tapioka yang hanya mengandung amilosa sebesar 17% dan sisanya adalah amilopektin yaitu sebesar 83% sedangkan pada jagung jumlah amilosa bisa mencapai 25% sampai 80% dan sisanya amilopektin Smith, 1982. Menurut Winarno 1992, kandungan pati yang terdapat di dalam ubi kayu adalah 34,6%. Amilosa merupakan fraksi pati yang terlarut. Molekul amilosa yang memiliki sifat hidrofilik dengan afinitas air yang tinggi menyebabkan amilosa pati semakin paralel dengan ikatan hidrogen. Apabila afinitas tersebut menurun maka ukuran pati akan membesar sehingga pada konsentrasi rendah akan terjadi presipitasi dan pada konsentrasi tinggi akan terbentuk gel. Hubungan antara molekul amilosa ini disebut retrogradasi. Amilopektin merupakan fraksi pati yang tidak larut. Berbeda dengan amilosa dengan struktur yang lurus, struktur amilopektin yang bercabang cenderung tidak sekuat dan sefleksibel amilosa Winarno, 1992. Dalam struktur granula pati, posisi amilosa dan amilopektin berada dalam suatu cincin-cincin dengan jumlah cincin sekitar 16 buah dalam suatu granula pati. Cincin-cincin dalam suatu granula pati tersebut terdiri atas lapisan-lapisan yaitu cincin lapisan amorf dan cincin lapisan semikristal Hustiany, 2006. Saat dipanaskan maka granula pati akan mengalami pengembangan dan bersifat tidak kembali ke bentuk semula yang disebut dengan gelatinisasi. Proses gelatinisasi ini terjadi akibat hilangnya sifat polarisasi cahaya pada hilum yang akan tercapai pada titik suhu tertentu. Ikatan granula yang bervariasi pada pati merupakan faktor yang menentukan besarnya suhu untuk mencapai gelatinisasi. Kisaran suhu gelatinisasi pada kentang 57-870C, tapioka 68-920C, gandum 50-860C, corn waxy 68900C, jagung 70-890C Swinkels, 1985. Granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau, dan tidak berasa apabila dalam keadaan murni. Granula pati memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi. Bentuk, ukuran, dan sifat granula pati tergantung dari sumber patinya, ada yang berbentuk bulat, oval, atau tak beraturan Koswara, 2006. 1. Ekstraksi Pati Cara Basah dan Cara Kering Amalia Dwi Lestari – 1301107 PATI Pati C6H10O5n telah dikenal di Mesir sejak 4000 tahun sebelum masehi. Ekstraksi dan penggunaan pati merupakan sumber karbohidrat utama yang disediakan alam, dimana jumlahnya sama dengan selulosa. Pati disintesis pada kloroplas tumbuh-tumbuhan yang berperan sebagai pusat fotosintesa, tempat karbohidrat dihasilkan yaitu reaksi dari CO 2 dan air. Pati dapat ditemukan pada semua bagian tumbuh-tumbuhan, yang dihasilkan gula yang selanjutnya dibawa dan disimpan sebagai cadangan energi pada bagian-bagian tanaman seperti biji, akar, umbi dan batang. Menurut Tjokroadikoesoemo 1986 pati adalah salah satu jenis polisakarida yang amat luas tersebar di alam. Bahan ini tersimpan sebagai cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan di dalam biji-bijian/serealia jagung, gandum, juwawut, sorghum dan lain-lain, di dalam umbi ubi kayu, ubi jalar, huwi, talas, kentang dan lain-lain dan pada batang aren, sagu dan lain-lain. Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan untuk persediaan bahan makanan. Pati merupakan butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau serta tidak mempunyai rasa. Pati pada dasarnya merupakan polimer glukosa dengan ikatan 1,4 α glikosidik. Sifat dari berbagai macam pati tidak sama, tergantung dari panjang rantai karbonnya Winarno, 1989. Dilihat dari susunan kimianya, pati adalah polimer dari glukosa atau maltosa. Unit terkecil di dalam rantai pati adalah glukosa yang merupakan hasil proses fotosintesa di dalam bagian tubuh tumbuh-tumbuhan yang mengandung klorofil Tjokroadikoesoemo, 1986. Dalam bentuk aslinya, pati merupakan butir-butir kecil yang disebut granula pati. Granula pati mempunyai ukuran, bentuk, keseragaman dan bentuk hilum yang khas dan berbeda-beda tergantung dari jenis patinya, sehingga dapat digunakan untuk identifikasi jenis pati. Dalam granula, campuran dari molekul struktur linear dan bercabang, tersusun secara radial dalam sel yang konsentrik dan membentuk cincin dan lamella. Terbentuknya lamella dalam pati, diduga sebagai akibat dari adanya pelapisan molekul pada granula, sedangkan hilum merupakan titik dari mulai berkembangnya granula. Sifat fisik dan komposisi kimia berbagai jenis granula pati yakni sebagai berikut Ekstraksi Pati Sumber pati dapat diperoleh dari umbi-umbian, biji-bijian serta bagian batang tanaman. Umbi merupakan bagian tanaman yang berupa akar atau batang sebagai tempat untuk menyimpan cadangan makanan. Akar dan batang yang berfungsi khusus untuk menyimpan cadangan makanan akan membengkak, memiliki sejumlah besar parenkim yang sel-selnya penuh dengan cadangan makanan. Akibat hal tersebut maka terjadi dominasi selsel parenkim pada xylem dan floem sekundernya. Selama terjadi proses pembengkakan umbi, diikuti pula dengan peningkatan konsentrasi pati dan terjadi penurunan kadar air dalam pati. Biji-bijian sumber pati menyimpan cadangan makanan pada endosperm. Penggilingan biji-bijian secara kering akan menghasilkan tepung, sedangkan pati merupakan produk biji-bijian yang diekstrak dengan cara penggilingan basah. Pati dan tepung secara visual terlihat sama yaitu berupa serbuk dan berwarna putih akan tetapi sebenarnya berbeda, baik secara fisik, kimia dan proses pembuatannya. Perbedaan proses pembuatannya terletak pada proses ekstraksi, dimana untuk menghasilkan pati perlu proses ekstraksi. Proses ekstraksi pati diawali dengan pengupasan bahan baku pati seperti ubi kayu lalu dicuci sampai kotoran hilang. Pencucian harus diperhatikan dan harus dilakukan dengan bersih karena pencucian yang tidak bersih akan mempengaruhi kandungan pati. Semakin banyak zat pengotor yang terbawa pada proses pembuatan pati maka kemurnian pati akan semakin rendah. Tahap setelah pencucian bahan baku pati yaitu pemarutan. Tahap pemarutan yaitu tahap dimana proses penghancuran bahan baku pati dilakukan. Pentingnya tahap ini yaitu untuk mengecilkan ukuran dan memecah ukuran granula pati sehingga memudahkan tahap selanjutnya yaitu ekstraksi. Tahap ekstraksi dilakukan untuk memisahkan ampas yang berupa serat-serat dan kotoran. Pada tahap ini menghasilkan bubur pati, yang selanjutnya dilakukan pengepresan. Dengan adanya pengepresan maka akan terpisah antara ampas dan suspensi pati. Suspensi pati diendapkan sehingga didapatkan endapan pati. Endapan pati kemudian dikeringkan dan digiling. Hasil penggilingan tersebut dinamakan pati. Komponen Penyusun Pati Granula pati tidak terdapat dalam keadaan murni, tetapi bercampur dengan bahan-bahan kimia lain seperti asam lemak dan senyawa fosfor. Greenwood 1975 mengemukakan bahwa granula pati tersusun oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin dan bahan antara yang merupakan komponen minor berupa lemak dan protein. Secara umum granula pati biji-bijian mengandung bahan antara yang lebih banyak bila dibandingkan dengan granula pati umbi-umbian dan umbi batang. Pati terdiri dari komponen mayor dan komponen minor. Komponen mayor yaitu komponen pati dengan jumlah yang besar yaitu kandungan amilosa dan amilopektin. Komponen minor yaitu komponen yang terkandung pada pati dengan jumlah kecil. Amilosa dan Amilopektin Menurut Winarno 1997 Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi yang larut dalam air disebut amilosa sedangkan yang tidak larut disebut amilopektin. Amilosa merupakan rantai lurus dari D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan -1,4 glikosidik dengan struktur cincin puranosa, oleh karena itu heksosa yang mengalami pengulangan adalah unit glukosa. Menurut Hizukuri 1996 amilosa merupakan rantai lurus D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan -1,4- D-glukosidik. Panjang rantai lurus tersebut adalah antara 250-2000 unit glukosa dengan bobot molekul antara Amilopektin mempunyai struktur dengan ikatan bercabang yang lebih banyak, terdiri dari amilosa rantai pendek dengan derajat polimerisasi antara 10 sampai 60 unit glukosa. Setiap unit dihubungkan dengan ikatan α-1-6 glikosidik. Glukosa dengan ikatan α-1-6 merupakan titik percabangan molekul amilopektin dan jumlahnya sekitar 5% unit glukosa dalam amilopektin Swinkels, 1985. Menurut Haryanto dan Pangloli 1992 glukosa yang berada dalam amilopektin mencapai jumlah yang besar yaitu unit sebanding dengan berat molekulnya antara sampai jutaan. Harsanto 1986 menjelaskan bahwa rasio amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat-sifat pati itu sendiri. Apabila kadar amilosa lebih tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung menyerap air banyak higroskopik. Menurut Tjokroadikoesoemo 1986 sifat amilopektin yang disukai oleh pengolahan pangan yaitu 1 sangat jernih, sehingga dalam bentuk pasta, amilopektin menunjukkan kenampakan yang sangat jernih sehingga sangat disukai karena dapat mempertinggi mutu penampilan dari produk akhir. 2 mudah menggumpal. 3 memiliki daya pemekat yang tinggi. 4 sifat pasta yang tidak mudah pecah atau rusak. Pada suhu normal atau lebih rendah, pasta tidak mudah kental dan pecah retak-retak. Dibandingkan dengan pati biasa, stabilitas amilopektin pada suhu amat rendah juga lebih tinggi. 5 suhu gelatinisasi lebih rendah. Amilopektin juga memiliki sifat yang kurang disukai yaitu sifat yang sangat kohesif, viskositas tinggi serta mudah rusak jika mendapat perlakuan panas dan asam. Untuk menghilangkan sifat yang kurang menyenangkan maka pati diberi perlakuan kimia tertentu sehingga mengalami modifikasi. Komponen Minor Lipid Internal Lipid Komponen ini berikatan dengan molekul lain misalnya fosfolipid, sehingga lipid dari pati sangat sulit diekstrak berbentuk polar lipid. Protein Klasifikasi protein yang terdapat pada pati berdasarkan kelarutannya yaitu albumin yang larut dalam air, prolamin yang larut dalam alkohol 70 %, globulin yang tidak larut dalam air dan larut dalam larutan garam, glutelin yang larut dalam asam atau basa. Protein ini terdapat dalam pati walaupun dalam jumlah yang sedikit. Gelatinisasi Pati Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi membengkak dalam air hangat. Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan pembengkakan granula pati. Pembengkakan granula pati menyebabkan terjadinya penekanan antara granula satu dengan yang lainnya. Pada awal pemanasan, pembengkakan granula bersifat reversible yaitu sifat dari granula yang dapat kembali ke bentuk semula. Pembengkakan granula akan bersifat irreversible tidak dapat balik ketika telah melewati suhu tertentu. Gelatinisasi yaitu proses dimana pembengkakan granula pati tidak dapat kembali ke bentuk semula, sedangkan suhu yang terlewati sehingga granula pati tidak dapat kembali disebut suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi pati berbeda-beda tergantung dari sifat dan jenis pati. Pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen yang berfungsi untuk mempertahankan struktur dan integritas granula pati. Kerusakan integritas dan granula pati menyebabkan granula menyerap air, sehingga sebagian fraksi terpisah dan masuk ke dalam medium. Sesudah pengrusakan granula selesai maka viskositas pati akan menurun. Proses gelatinisasi juga akan berpengaruh terhadap struktur heliks dari polimer glukosa, sehingga terjadi perubahan dimana air yang diserap akan berikatan. Akibat dari hal tersebut maka granula pati akan kehilangan struktur heliksnya. Perubahan-perubahan yang terjadi selama proses gelatinisasi, granula pati akan mengalami hidrasi dan mengembang, molekul amilosa larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati berkurang yang diikuti dengan semakin kuatnya antar granula, peningkatan viskositas, kejernihan pasta semakin meningkat dan granula pati akan kehilangan sifat birefringence yaitu sifat dimana pati akan menghantarkan cahaya terpolarisasi. 2. Modifikasi Pati 1. Modifikasi Pati → Pati termodifikasi pati pregelatinisasi Mita Maharani Bahriah – 1305741 Tepung Pregelatinisasi adalah tepung yang mengalami proses gelatinisasi dengan perebusan parboiling dan selanjutnya dikeringkan, sehingga memperbaiki kualitas, sifat reologi dan pasta tepung. Pemanasan suspense tepung, yang diikuti oleh pengeringan, menghasilkan produk yang swellable dalam air dingin dan menghasilkan pasta saat dipanaskan. Produk ini biasanya digunakan dalam makanan instan, seperti pudding, dan sebagai bahan pengembang belitz. Temperatur merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi proses pregelatinisasi. Jika pati tidak dipanaskan pada temperatur yang sesuai maka derajat pengembangan granula pati tidak tepat dan tidak memberikan sifat yang diinginkan Hapsari, 2007. Pemanasan menyebabkan lemahnya ikatan hidrogen dalam granula, sehingga granula yang telah membengkak memiliki ukuran yang besar dan bersifat irreversibel. Ketika dilakukan proses pengeringan tepung yang telah tergelatinisasi, air mudah lepas dari ikatan hidroksil sehingga kadar air sedikit menurun. Menurut Kenneth, Leon and J Peter 1991 dalam Hapsari 2007 penggunaan panas yang terus meningkat menyebabkan ikatan hidrogen intermolukuler antara rantai amilosa dan rantai cabang amilopektin mulai melemah, sehingga granula pati mengembang secara cepat. Granula yang telah mengembang mempunyai struktur yang lebih lunak dan bersifat irreversibel. Ikatan hidrogen intramolekuler berfungsi mempertahankan struktur integritas granula pati. Proses pengeringan kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi, akan memudahkan terlepasnya air yang terikat didalam granula pati Hapsari, 2007. Tepung yang mengalami pre gelatinisasi dengan perebusan atau parboling telah mengalami perubahan struktur ikatan dan bentuk granula. Ikatan hidrogen antara amilosa dan amilopektin melemah karena adanya pemanasan awal. Gelatinisasi mengakibatkan dehidrasi dan konversi dari bentuk amarphous amilosa ke bentuk helik. Bentuk helik menjadi bagian yang lemah dari kristal granula pati. Menurut Zallie 1988 dalam Hapsari 2007 temperatur gelatinisasi dipengaruhi oleh kuat lemahnya ikatan di dalam granula. Menurut Light 1999 dalam Hapsari 2007, pregelatinisasi merupakan salah satu teknik modifikasi fisik yang dapat mengatur ukuran partikel. Annison dan Topping 2000 dalam Hapsari 2007 menyatakan bahwa gelatinisasi terdiri dari dua tahap proses yaitu suspensi pati yang dipanaskan pada suhu 60-700C sebagian granula akan mengembang. Ketika suhu dinaikkan menjadi 90 0C granula akan mengembang seluruhnya dan kehilangan bentuknya, meskipun pati masih terdiri dari suatu fragmen yang melingkupinya. 2. Modifikasi pati → Tepung pra-masak termodifikasi Juliana M Nur – 1306948 Tepung pra masak termodifikasi merupakan cara mendapatkan rendemen pati dengan cara pendinginan yang dilakukan untuk menggelatinisasi pati yang terdapat pada suatu bahan. Maquenne 1993 dalam Jacobson and BeMiller 1998 menemukan pengaruh suhu terhadap tingkat retrogradasi pati, dimana kecepatan retrogradasi akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu. Makin rendah suhu, makin cepat proses retrogradasi dan makin banyak pati. Swelling Power Winni Trinita Maulandhiyani – 1304693 Swelling power merupakan kenaikan volume dan berat maksimum pati selama mengalami pengembangan di dalam air. Swelling power menunjukkan kemampuan pati untuk mengembang dalam air. Swelling power yang tinggi berarti semakin tinggi pula kemampuan pati mengembang dalam air. Nilai swelling power perlu diketahui untuk memperkirakan ukuran atau volume wadah yang digunakan dalam proses produksi sehingga jika pati mengalami swelling, wadah yang digunakan masih bisa menampung pati tersebut Suriani, 2008. Swelling power dan kelarutan terjadi karena adanya ikatan nonkovalen antara molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% Winarno, 2002. Ketika granula pati dipanaskan dalam air, granula pati mulai mengembang swelling. Swelling terjadi pada daerah amorf granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah antar molekul pati pada daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air oleh granula pati. Granula pati akan terus mengembang, sehingga viskositas meningkat hingga volume hidrasi maksimum yang dapat dicapai oleh granula pati Swinkels, 1985. Ketika molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari granula pati. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa Fleche, 1985. Selain itu, Mulyandari 1992 juga melaporkan selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa. BAB III METODE PRAKTIKUM Isnaeni Apriliani - 1305572 Waktu dan Tempat Praktikum Pada praktikum mata kuliah Teknologi Pengolahan Serealia, kacang, dan Umbi-umbian mengenai “Ekstraksi Pati Alami dan Modifikasi Pati” dilaksanakan pada hari Rabu, 15 April 2015 bertempat di Laboratorium Pendidikan Teknologi Agroindustri Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Universitas Pendidikan Indonesia. Alat dan Bahan Ekstraksi Pati Alami Alat-alat yang digunakan dalam proses ekstraksi pati alami diantaranya adalah oven, ayakan tyler, grinder, baskom, kain kasa, dan saringan. Sementara itu bahan-bahan yang digunakan dalam proses ekstraksi pati alami adalah singkong dan ubi jalar. Modifikasi Pati Alat-alat yang digunakan dalam proses modifikasi pati diantaranya adalah kompor listrik, beker glass, oven, grinder, ayakan tyler, hot plate, penangas air, baskom, kain kasa, kulkas, alat pengaduk, termometer, statip, water bath, dan loyang. Sementara itu bahan-bahan yang digunakan dalam proses modifikasi pati adalah singkong dan ubi jalar. Prosedur Kerja Ekstraksi Pati Alami cara basah Umbi Penimbangan Pengupasan Kulit umbi Pencucian Penimbangan Pengecilan ukuran Perlakuan terhadap umbi tertentu talas, gadung, suweg, porang Pencucian Ekstraksi umbi air 1 4 Lakukan sebanyak dua kali Pengendapan 6-24 jam Penyaringan Pengeringan pati 55°C, 614 jam 55 Pengayakan 100 Pati kering alami mesh Pati Ekstraksi Pati Alami cara kering Umbi Penimbangan Pengupasan Kulit umbi Pencucian Penimbangan Pengecilan ukuran Perlakuan terhadap umbi tertentu talas, gadung, suweg, porang Pencucian Pengeringan 55°C, 614 jam jam Penghancuran grinder Rendam dalam air Pengayakan 60-100 mesh Tepung Ekstraksi pati tepung air 1 5 36 jam 55 Pengeringan pati 55°C, 310 jam Pati kering alami Pati Termodifikasi pati pregelatinisasi 60-80% Pati hasil ekstraksi Pensuspensian pati dengan aquades 20% b/v Pemanasan suspensi pati hot plate 60-80°C samapai viskositas Pendinginan selama 1 jam pada Penyimpanan 4°C, 24 jam Thawing 2 jam Pengeringan 55°C, 4-10 Penghancuran Pengayakan 60-100 Pati termodifikasi Tepung Pra Masak Termodifikasi Umbi Penimbangan Pengupasan Kulit umbi Pencucian Penimbangan Pengecilan ukuran Perlakuan terhadap umbi tertentu talas, gadung, suweg, porang Pencucian Perebusan 100°C, 30 menit Pendinginan pada suhu ruang selama 1 jam Penyimpanan 4°C, 24 jam Tepung pra masak termodifikasi Penghancuran Pengeringan grinder Thawing 2 55°C, dan jam pengayakan 1060- Swelling Power + 10 ml aquades diaduk secara kontinyu dan dipanaskan secara periodik 0,1 gram sampel tepung/pati Pemasukan kedalam tabung reaksi Pemanasan dalam water bath 70°C, 30 menit Pemisahan supernatan dengan cairannya Sentrifugasi 2500 rpm, 20 menit Didekantasi Penimbangan pasta Pasta BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan Yanni Handayani - 1306681 Atribut Pengamatan Rendemen % Pati Singkong Ekstraksi kering Ekstraksi basah Pati Ubi Jalar Ekstraksi kering Ekstraksi basah Pati termodifikasi pregelatinisasi Singkong 95,2 g 200,6 g 63 g 74,4067 g x 100 =4,76 x 100 =12,158x 100 =3,15 x 1008,1885 =4,3769 2000 g 1650 g 2000 g 1700 g Ubi Jalar 65,40% Tepung pra masak modifikasi Singkong Ubi Jalar 109,2323% 118,2 g x 100 =11,82 1000 g dalam 1000 gram Warna/ dejarat putih ++ Putih ++ Putih Orange-krem Krem Putihkrem -Coklat Aroma Tidak beraroma ++ Aroma tepung ++ Aroma ubi ++ Aroma tepung +++ Aroma singkong Aroma ubi Tekstur mesh Swelling power % Gambar bentuk/struktur granula pati 100 100 80 80 100 60 3,1473 g 3,5413 g 0,8159 g 2,5781 g x 100 =3147,3 x 100 =3541,3 x 100 =789,07 x 1003929,417 =2042,87 1652,8672 0,1 g 0,1 g 0,1034 g 0,1262 g % % ++ + Kuning Kuning ++ Aroma aroma tepung ubi + singkong + rebus 100 100 3,0922 g 1,6799 g x 100 =3002,14x 100 =1601,43 0,103 g 0,1049 g Terlampir Terlampir Terlampir Terlampir Terlampir Terlampir Terlampir Terlampir Pembahasan Nama Amalia Dwi Lestari NIM 1301107 Pati merupakan butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau serta tidak mempunyai rasa. Pati pada dasarnya merupakan polimer glukosa dengan ikatan 1,4 α glikosidik. Sifat dari berbagai macam pati tidak sama, tergantung dari panjang rantai karbonnya Winarno, 1989. Pati merupakan campuran dari amilosa dan amilopektin yang tersusun di dalam granula pati. Amilosa merupakan polimer linier yang mengandung 500-2000 unit glukosa yang terikat oleh ikatan Į-1,4 sedangkan amilopektin selain mengandung ikatan Į-1,4 juga mengandung ikatan Į-1,6 sebagai titik percabangannya Smith, 1982; Swinkels, 1985; Pomeranz, 1991. Dalam praktikum ekstraksi pati dan modifikasi pati yang dilakukan pada 15 April di laboratorium teknologi pengolahan hasil pertanian prodi Pendidikan Teknologi Agroindutri FPTK UPI, dilakukan beberapa percobaan yakni pembuatan pati alami cara basah dan cara kering, pati tergelatinisasi, dan pati pramasak yang bahan bakunya yakni singkong dan ubi jalar. 1. Ekstraksi Pati Sumber pati dapat diperoleh dari umbi-umbian, biji-bijian serta bagian batang tanaman. Umbi merupakan bagian tanaman yang berupa akar atau batang sebagai tempat untuk menyimpan cadangan makanan. Akar dan batang yang berfungsi khusus untuk menyimpan cadangan makanan akan membengkak, memiliki sejumlah besar parenkim yang sel-selnya penuh dengan cadangan makanan. Akibat hal tersebut maka terjadi dominasi sel-sel parenkim pada xylem dan floem sekundernya. Selama terjadi proses pembengkakan umbi, diikuti pula dengan peningkatan konsentrasi pati dan terjadi penurunan kadar air dalam pati. Adapun proses pengekstrakan pati yang dilakukan dengan bahan umbiumbian, yakni proses ekstraksi pati diawali dengan pengupasan bahan baku pati seperti ubi kayu lalu dicuci sampai kotoran hilang. Pencucian harus diperhatikan dan harus dilakukan dengan bersih karena pencucian yang tidak bersih akan mempengaruhi kandungan pati. Semakin banyak zat pengotor yang terbawa pada proses pembuatan pati maka kemurnian pati akan semakin rendah. Tahap setelah pencucian bahan baku pati yaitu pemarutan. Tahap pemarutan yaitu tahap dimana proses penghancuran bahan baku pati dilakukan. Pentingnya tahap ini yaitu untuk mengecilkan ukuran dan memecah ukuran granula pati sehingga memudahkan tahap selanjutnya yaitu ekstraksi. Tahap ekstraksi dilakukan untuk memisahkan ampas yang berupa serat-serat dan kotoran. Pada tahap ini menghasilkan bubur pati, yang selanjutnya dilakukan pengepresan. Dengan adanya pengepresan maka akan terpisah antara ampas dan suspensi pati. Suspensi pati diendapkan sehingga didapatkan endapan pati. Endapan pati kemudian dikeringkan dan digiling. Hasil penggilingan tersebut dinamakan pati. Dalam melakukan proses ekstraksi, ada beberapa jenis umbi-umbian yang harus melakukan pretreatment terlebih dahulu, hal ini dikarenakan pada beberapa jenis umbi-umbian memiliki kandungan racun yang apabila termakan oleh kita akan menyebabkan keracunan. Sebagai contoh, bahan baku singkong memiliki racun yang berupa HCN atau asam sianida. Dalam hal ini, asam sianida direduksi terlebih dahulu dengan pencucian yang bersih. HCN dalam singkong lebih banyak terdapat di kulitnya dibanding dengan dagingnya. Namun bila pencucian tidak bersih, dikhawatirkan kandungan HCN masih ada pada singkong bagian dagingnya. Sehingga pencucian yang bersih dan pemanasan dapat mereduksi HCN yang terdapat pada singkong. Rasa singkong ada yang sedikit manis dan ada yang sedikit pahit tergantung kandungan racun glukosida yang dapat membentuk asam sianida. a. Randemen Dalam praktikum ini, dilakukan penghitungan randemen pati singkong dan pati ubi jalar dengan dua perlakukan yang berbeda, didapatkan hasil sebagai berikut Pati Singkong Ekstraksi Pati Ubi Jalar Ekstraksi Ekstraksi Ekstraksi kering basah kering basah 95,2 g 200,6 g 63 g 74,4067 g x 100 =4,76 x 100 =12,158 x 100 =3,15 x 100 =4,3769 2000 g 1650 g 2000 g 1700 g Tabel Rendemen Pati singkong dan Pati Ubi jalar Rendemen merupakan berat pati yang lolos pengayakan perberat sampel yang digunakan kemudian dipresentasekan. Dari hasil tersebut, didapatkan bahwa rendement pati yang tinggi nilainya yakni dengan perlakukan ekstraksi cara basah. b. Warna Dalam pengamatan warna, dapat dilihat bahwa warna pati yang terbentuk yakni Pati Singkong Pati Ubi Jalar Ekstraksi Ekstraksi Ekstraksi Ekstraksi kering ++ basah ++ kering - basah - Putih Putih Orange-krem Krem Tabel warna pati singkong dan pati ubi jalar Adanya perbedaan warna yang dihasilkan dari pati tersebut dikarenakan kandungan pigmen pada jenis umbi yang berbeda. Adanya warna orange kream yang terbentuk, dikarenakan adanya kandungan betakaroten. Selain itu terdapat beberapa warna pada umbi jalar yakni ungu, kuning, merah, putih dan adapula warna jingga pada ubi jalar yang memberi isyarat akan tingginya kandungan senyawa lutein, zeaxantin, pasangan antioksidan karotenoid. Keduanya termasuk pigmen warna sejenis klorofil merupakan pembentuk vitamin A. Lutein dan zeaxantin merupakan senyawa aktif yang memiliki peran penting menghalangi proses perusakan sel. Sedangkan pati singkong memiliki warna putih pati. c. Aroma dan tekstur Pati singkong dan pati ubi jalar memiliki aroma khas umbi dan tekstur yang halus. Aroma yang dihasilkan dari umbi tersebut dikarenakan senyawa volatil. Adanya aroma yang berkurang dkarenakan adanya penguapan senyawa volatile pada saat proses ekstraksi. Adanya tekstur halus didapatkan dari hasil ayakan yang digunakan dengan satuan mesh. Adanya tingkat kehalusan dari pati tersebut merupakan jumlah pati yang lolos saringan dengtan ukuran tertentu. Atribut Pengamatan Aroma Pati Singkong Pati Ubi Jalar Ekstraksi Ekstraksi Ekstraksi Ekstraksi kering - basah ++ kering ++ basah ++ Tidakberaroma Aroma tepung Aroma ubi Aroma tepung Tekstur 100 100 80 mesh Tabel aroma dan tekstur pati singkong dan pati ubi jalar 80 d. Swelling power Swelling power dipengaruhi oleh kemampuan molekul pati untuk mengikat air melalui pembentukan ikatan hidrogen. Setelah gelatinisasi ikatan hidrogen antara molekul pati terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Sehingga pati dalam tergelatinisasi dan granula-granula pati mengembang secara maksimal. Proses mengembangnya granula pati ini disebabkan karena banyaknya air yang terserap kedalam tiap granula pati dan granula pati yang mengembang tersebut mengakibatkan swelling power menjadi meningkat. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, nilai swelling power yang tertinggi didapatkan dengan cara ekstraksi basah. Pati Singkong Ekstraksi Ekstraksi Pati Ubi Jalar Ekstraksi Ekstraksi kering basah kering basah 3,1473 g 3,5413 g 0,8159 g 2,5781 g x 100 =3147,3 x 100 =3541,3 x 100 =789,07 x 100 =2042,87 0,1 g 0,1 g 0,1034 g 0,1262 g Tabel uji swelling ekstraksi pati singkong dan pati ubi jalar e. Granula pati Granula pati mempunyai ukuran, bentuk, keseragaman dan bentuk hilum yang khas dan berbeda-beda tergantung dari jenis patinya, sehingga dapat digunakan untuk identifikasi jenis pati. Dalam granula, campuran dari molekul struktur linear dan bercabang, tersusun secara radial dalam sel yang konsentrik dan membentuk cincin dan lamella. Terbentuknya lamella dalam pati, diduga sebagai akibat dari adanya pelapisan molekul pada granula, sedangkan hilum merupakan titik dari mulai berkembangnya granula. Pati singkong ekstraksi kering kelompok 2 Bentuk granula Bulat tak beraturan Pati singkong ekstraksi basah kelompok 1 Bentuk granula Bulat tak beraturan Pati ubi jalar ekstraksi kering kelompok 6 Bentuk granula Bulat tak beraturan Pati ubi jalar ekstraksi basah kelompok 5 Bentuk granula Bulat tak beraturan Gambar granula pati singkong dan pati ubi jalar Dari gambar terlihat bahwa bentuk granula pati singkong dan ubi jalar berbeda. Granula pati ubi jalar memiliki bentuk polygon sedangkan granula pati singkong memiliki bentuk bulatan oval. Hal ini dapat disesuaikan dengan literature yang ada bahwa granula pati ubi jalar memiliki bentuk polygon dan pati singkong berbentuk oval. Gambar sifat fisik dan komposisi kimia berbagai jenis granula pati 2. Pati Termodifikasi Dalam percobaan ini, dilakukan dua percobaan yakni percobaan pembuatan pati termodifikasi pragelatinisasi dan pati pra masak modifikasi. Pati dapat dimodifikasi untuk menghasilkan sifat-sifat pati yang diinginkan yang berkaitan dengan produk yang akan dihasilkan. Pati yang telah mengalami modifikasi disebut pati termodifikasi modified starch. Menurut Fleche 1985 pati termodifikasi adalah pati yang gugus hidroksilnya telah diubah melalui suatu reaksi esterifikasi, eterifikasi atau oksidasi atau dengan mengganggu struktur asalnya. Glicksman 1969 mengatakan bahwa pati termodifikasi yaitu pati yang diberi perlakuan tertentu dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya atau untuk merubah beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini dapat mencakup panggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru dan atau perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati. Pregelatinisasi merupakan teknik modifikasi pati secara fisik yang paling sederhana yang dilakukan dengan cara memasak pati di dalam air sehingga tergelatinisasi sempurna, kemudian mengeringkan pasta pati yang dihasilkan dengan menggunakan spray dryer atau drum dryer. Karena sudah mengalami gelatinisasi, maka pati pregelatinisasi tidak lagi memiliki penampakan granula pati. Pati pregelatinisasi bersifat instan, dimana dapat larut dalam dalam air dingin cold water soluble. Di samping itu, pati pregelatinisasi memiliki viskositas yang lebih rendah dibanding pati yang tidak dipregelatinisasi. Pati pregelatinisasi di antaranya dapat digunakan untuk formulasi makanan bayi dan pudding. Dari percobaan yang dilakukan dalam pembuatan pati modifikasi yakni pati pregelatinisasi dan tepung pramasak didapatkan hasil pada tabel Pati Atribut Pengamatan termodifikasi pregelatinisasi Singkong Ubi Jalar 8,1885 Rendemen % Warna/ dejarat putih Putih-krem +++ Aroma 65,40% -Coklat Aroma Pati pramasak modifikasi Singkong UbiJalar 8,1885 65,40% - Putih-krem +++ Coklat Aroma Aroma ubi singkong singkong Tekstur mesh 100 60 100 Swelling power % 3929,417% 1652,8672% 3929,417% Tabel pengamatan pati pregelatinisasi dan pati pramasak Aroma ubi 60 1652,8672% Dapat dilihat dari hasil percobaan yang dilakukan, rendemen yang dihasilkan nilai paling tinggi pada ubi jalar, namun pada pengujian swelling power didapatkan nilai paling tinggi yaitu pada singkong. Hal ini menunjukkan bahwa daya serap air lebih baik pada pati yang termodifikasi dengan bahan baku singkong. Pada pengamatan granula pati yang terbentuk didapatkan hasil yang berbeda-beda. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi membengkak dalam air hangat. Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan pembengkakan granula pati. Pembengkakan granula pati menyebabkan terjadinya penekanan antara granula satu dengan yang lainnya. Pada awal pemanasan, pembengkakan granula bersifat reversible yaitu sifat dari granula yang dapat kembali ke bentuk semula. Pembengkakan granula akan bersifat irreversible tidak dapat balik ketika telah melewati suhu tertentu. Gelatinisasi yaitu proses dimana pembengkakan granula pati tidak dapat kembali ke bentuk semula, sedangkan suhu yang terlewati sehingga granula pati tidak dapat kembali disebut suhu gelatinisasi. Menurut Swinkels 1985 jika granula pati dipanaskan dan akan tercapai pada suhu dimana pada saat itu akan terjadi hilangnya sifat polarisasi cahaya pada hilum, mengembangnya granula pati yang bersifat tidak dapat kembali disebut dengan gelatinisasi. Patitermodifikasi pregelatinisasi Singkong Patitermodifikasi pregelatinisasi Ubijalar Patipramasak modifikasi singkong Patipramasak modifikasi ubijalar Gambar granula pati termodifikasi Dari hasil pengamatan tersebut, dapat dilihat bahwa bentuk granula pati tidak berbentuk oval maupun polygon seperti ekstraksi pati sebelumnya. Hal ini dikarenakan amilosa dan amilopektin didalam granula pati dihubungkan dengan ikatan hydrogen, apabila granula pati dipanaskan didalam air, maka energy panaas akan menyebabkan ikatan hydrogen terputus dan air masuk kedalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hydrogen dengan amilosa dan amilopektin. Meresapnya air kedalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati sehingga ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilisa dan sedikit amilopektin berdifusi keluar. Proses inilah yang disebut gelatinisasi. Sumber Anonim. Karbohidrat . [Online]. Tersedia di KyHUDPegGccp18c/edit?hl=en&pli=1 diakses pada April 2015 Halim, M. 2015. Tepung dan Pati. [Online]. Tersedia di diakses pada april 2015 Kalsum, Nurbani dan Surfiana. Karakteristik Dekstrin dari Pati Ubi Kayu yang Diproduksi dengan Metode Pragelatinisasi Parsial. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 13 1 13-23 Kusnandar, Feri. 2010. Teknologi Modifikasi Pati dan Aplikasinya di Industri Pangan. [Online]. Tersedia di option=com_content&task=view&id=111&Itemid=94 diakses pada april 2015 Lase, VA. 2013. Ubi jalar. [Online]. Tersedia di diakses pada april 2015 Widyaastuti, Endrika. 2012. Modifikasi Pati. [Online]. Tersedia di diakses pada April 2015 Nama Isnaeni Apriliani NIM 1305572 Ubi jalar merupakan tanaman yang banyak ditemukan di pasar dengan harga relatif murah. Kita mengenal ada beberapa jenis ubi jalar. Jenis yang paling umum adalah ubi jalar putih, merah, ungu, kuning atau orange. Kelebihan dari ubi jalar yang berwarna yaitu mengandung antioksidan yang kuat untuk menetralisir keganasan radikal bebas penyebab penuaan dini dan pencetus penyakit degeneratif seperti kanker dan jantung. Zat gizi lain yang banyak terdapat dalam ubi jalar adalah energi, vitamin C, vitamin B6 piridoksin yang berperan penting dalam kekebalan tubuh. Kandungan mineralnya dalam ubi jalar seperti fosfor, kalsium, mangan, zat besi dan serat yang larut untuk menyerap kelebihan lemak/kolesterol dalam darah Reifa, 2005. Ubi jalar memiliki prospek dan peluang yang cukup besar sebagai bahan baku industri pangan. Perkembangan pemanfaatannya dapat ditingkatkan dengan cara penerapan teknologi budidaya yang tepat dalam upaya peningkatan produktivitas serta tersedianya jaminan pasar yang layak. Peningkatan produksi ubi jalar tersebut harus diikuti dengan teknologi pengolahan yang dapat menumbuhkan agroindustri ubi jalar. Oleh karena itu, dalam praktikum kali ini kami mencoba mengekstraksi pati alami dan pati termodifikasi berbahan dasar ubi jalar sebagai bentuk diversifikasi ubi jalar. Sampel yang kami gunakan dalam praktikum kali ini adalah ubi jalar oranye. Ubi jalar oranye merupakan salah satu umbi-umbian yang memiliki kandungan senyawa fungsional yaitu betakaroten. Menurut Depkes RI 1981 dalam Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan 2002, vitamin A pada ubi jalar memiliki kandungan beta karoten provitamin A yang tinggi yaitu sebesar 7700 SI/100 gram terutama ubi jalar yang daging umbinya berwarna oranye atau jingga. Betakaroten merupakan salah satu jenis karotenoid, disamping mempunyai aktivitas biologis sebagai provitamin A, juga dapat berperan sebagai antioksidan untuk melawan radikal bebas pada tubuh. Tetapi betakaroten mudah mengalami perubahan struktur terutama pada saat pengolahan Sinaga, 2011. Ada beberapa kelebihan ubi jalar oranye dalam kandungan zat gizi dibandingkan ubi jalar lainnya. Ubi jalar oranye merupakan sumber vitamin C dan betakaroten provitamin A yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar berdaging kuning. Bahkan, ubi jalar berdaging putih tidak mengandung vitamin tersebut atau sangat sedikit. Sementara kandungan vitamin B ubi jalar berdaging jingga sedang Sarwono, 2005. Berikut merupakan nilai gizi ubi jalar dibandingkan dengan beras, ubi kayu, dan jagung per 100 g bahan. Komposisi kimia ubi jalar berdasarkan Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI 1981 dalam Jamriyanti 2007. Selain mengandung zat-zat gizi ubi jalar juga mengandung zat anti gizi yaitu tripsin inhibitor dengan jumlah 0,26-43,6 SI/100 gram ubi jalar segar Bradbury dan Holoway, 1988. Tripsin inhibitor tersebut akan memotong gugus aktif enzim tripsin, sehingga enzim tersebut terhambat dan melakukan fungsinya sebagai pemecah protein. Aktivitas tripsin inhibitor dapat dihilangkan dengan pengolahan sederhana yaitu pengukusan atau perebusan Cahyono, MM, 2004. Dalam praktikum ekstraksi pati alami, kami melakukan dua perlakuan yang berbeda yaitu ekstraksi pati alami dengan menggunakan cara basah dan ekstraksi pati alami dengan menggunakan cara kering. Begitupun dengan praktikum modifikasi pati, dalam pelaksanaannya kami menggunakan teknologi pengolahan modifikasi pati yang berbeda yaitu pati termodifikasi pregelatinisasi dan pati pra masak. Tentu saja hal tersebut akan mempengaruhi terhadap produk pati yang dihasilkan. Hal yang kami amati dalam praktikum ini antara lain adalah rendemen, warna/derajat putih, aroma, tekstur mesh, bentuk granula pati, dan daya serap air/swelling power. 1. Ekstraksi Pati Alami Pati disusun oleh amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polisakarida yang linier sedangkan amilopektin adalah yang bercabang. Tiap jenis pati tertentu disusun oleh kedua fraksi tersebut dalam perbandingan yang berbeda-beda. Pada pati jenis yanga rekat addesif amilosa dalam pati berkisar 20-30% Sudarmadji, 2003. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai Cnya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-1,4-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai struktur cabang dengan ikatan α-1,4-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total Winarno, 2002. Pati adalah polimer glukosa yang terdapat dalam dua bentuk, yaitu bentuk linier, amilosa, dimana unit-unit glukosa digabungkan dengan ikatan α1,4 dan bentuk polimer bercabang, amillopektin, dimana unitunit glukosa digabungkan baik dengan ikatan α-1,4 maupun dengan ikatan α-1,6. Sebagian besar pati mengandung 16-24% amilosa Muchtadi, 1989. Dalam praktikum ini, kami menggunakan dua perlakuan yang berbeda untuk mendapatkan ekstrkasi pati alami ubi jalar yaitu dengan menggunakan cara kering dan cara basah. Dalam prosesnya, hal yang membedakan dari kedua perlakuan tersebut terletak pada proses perlakuan pendahuluannya. Pada ekstraksi pati alami cara kering, dilakukan pengeringan selama 6-14 jam dalam oven dengan suhu 550C sementara pada ekstraksi cara basah, dilakukan perendaman dalam air sampai terbentuk endapan dengan rasio perbandingan ubi dan air adalah 1 4. Perendaman yang dilakukan dalam proses ekstraksi pati alami ubi jalar berfungsi untuk mencegah kontak oksigen di udara dengan daging ubi jalar. Sementara itu pengeringan yang dilakukan dalam proses ekstraksi pati alami ubi jalar befungsi untuk mengeringkan ubi jalar dengan digunakan pemanas drying oven agar tidak terjadi kontak antara ubi dengan oksigen. Pemanasan dilakukan pada suhu 550C selama 16 jam agar warna tepung dan karoten tidak rusak. a. Rendemen Rendemen merupakan persentase dari hasil berat pati yang diperoleh dengan berat bahan baku umbi segar. Besarnya rendemen yang dihasilkan dari ubi jalar segar dapat diketahui dari kadar bahan keringnya. Semakin tinggi kadar bahan kering ubi jalar, maka semakin tinggi pula rendemen tepung yang dihasilkan. Besarnya kadar bahan kering tergantung pada varietas/klon, lingkungan radiasi sinar matahari, suhu, pemupukan, kelembaban tanah dan umur tanaman Bradbury dan Holloway, 1988. Berdasarkan hasil pengamatan, rendemen ekstraksi pati alami cara basah memiliki rendemen paling besar dibandingkan dengan rendemen ekstraksi pati cara kering. Persentase rendemen pati cara basah yaitu sebesar 4,3769% sedangkan persentase rendemen pati cara kering yaitu sebesar 3,15%. Hal tersebut menunjukan adanya perubahan selama proses pengolahan yang terjadi pada kedua perlakuan tersebut. Perbedaan rendemen yang diperoleh tersebut dipengaruhi oleh jenis perlakuan yang diberikan. Cara basah memiliki rendemen yang besar disebabkan oleh karena kadar air yang terdapat dalam pati tersebut besar sehingga mempengaruhi berat jenis atau rendemennya begitupun dengan rendemen yang diperoleh oleh pati dengan perlakuan cara kering sedikit, hal tersebut dipengaruhi oleh perlakuan pengeringan yang diberikan sehingga menyebabkan pemindahan air dengan sengaja dari bahan pangan atau ubi jalar. Pengeringan yang terjadi berlangsung dengan penguapan air yang terdapat di dalam bahan pangan sehingga berat jenis atau rendemen yang dihasilkannyapun sedikit. b. Warna Warna merupakan salah satu parameter dalam pengujian sifat sensori organoleptik dengan menggunakan indera penglihatan. Warna yang diharapkan untuk bahan hasil pengeringan yaitu warna tidak terlalu menyimpang dari warna asli Kusmawati, dkk, 2000 Berdasarkan hasil pengamatan warna pati yang dihasilkan dari setiap masing-masing perlakuan menunjukan warna yang sedikit berbeda, dimana warna pati dengan perlakuan cara basah menunjukan warna krem, hal tersebut dapat terjadi akibat dari adanya perendaman dalam proses pengolahannya sehingga mempengaruhi warna yang dihasilkan oleh produk. Warna pati yang dihasilkan akan cenderung memudar, hal ini disebabkan oleh karena semakin lama perendaman semakin banyak komponen penimbul warna atau pigmen dalam hal ini karoten yang terbuang. Sementara itu warna pati yang dihasilkan dari perlakuan cara kering menunjukan warna orange-krem hal tersebut dapat terjadi karena pemanasan yang dilakukan pada suhu 55 0C selama 14 jam pigmen karoten tidak rusak sehingga mampu mempertahankan warna pati. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Regina 2009 Selain daripada itu, dari kedua perlakuan tersebut warna pati alami ubi jalar yang dihasilkan memiliki warna krem sedikit coklat. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya reaksi pencoklatan non enzimatis yang berupa reaksi maillard. Menurut Winarno 2002, reaksi Maillard merupakan reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat, yang sering dikehendaki atau kadang-kadang malahan menjadi pertanda penurunan mutu. Selain itu Dedi Fardiaz, dkk 1992 juga menyatakan bahwa Reaksi pencoklatan non enzimatik atau disebut juga reaksi maillard terjadi bila gula pereduksi bereaksi dengan senyawa-senyawa yang mempunyai gugus NH2 protein, asam amino, peptida, dan amonium. c. Aroma Aroma merupakan salah satu parameter dalam pengujian sifat sensori organoleptik dengan menggunakan indera penciuman. Aroma dapat diterima apabila bahan yang dihasilkan mempunyai aroma spesifik Kusmawati, dkk, 2000. Aroma adalah salah satu komponen cita rasa flavor. Aroma merupakan sensasi subyektif yang dihasilkan dengan penciuman pembauan. Konstituen yang dapat menimbulkan aroma adalah senyawa volatile yang dapat diisolasi dari bahan pangan biasanya kurang daru 100 ppm Santoso dan Murdijati G, 1999. Berdasarkan hasil pengamatan, aroma pati alami ubi jalar yang dihasilkan dari kedua perlakuan yang berbeda menghasilkan aroma yang berbeda. Dimana pada perlakuan ekstraksi pati alami cara basah aroma pati yang tercium cenderung memiliki aroma seperti tepung sedangkan aroma pati yang dihasilkan dari ekstraksi pati alami cara kering cenderung memiliki aroma seperti ubi. Kedua perlakuan tersebut sangat mempengaruhi perubahan aroma yang terjadi, dalam hal ini aroma dari produk pati alami ubi jalar yang dihasilkan memiliki aroma yang tidak terlalu dominan seperti bahan utamanya hal ini disebabkan oleh proses perendaman dan pengeringan yang dapat mengakibatkan senyawa volatile atau flavor yang terdapat dalam bahan pangan tersebut mudah menguap volatile favour hilang. Buckle, et al 1985 dalam bukunya ”Ilmu Pangan”. d. Tekstur Dalam praktikum ekstraksi pati alami ubi jalar orange ini kami menggunakan ayakan thyller 80 mesh, baik itu ekstraksi pati dengan menggunakan cara basah maupun ekstraksi pati dengan menggunakan cara kering. Pati ubi jalar yang dihasilkan dari kedua jenis perlakuan tersebut memiliki tingkat kehalusan yang sama yaitu dengan ukuran ayakan 80 mesh. Ayakan thyller 80 mesh ini artinya sepanjang 1 inch terdapat 80 lubang. Tingkat kehalusan pati alami ubi jalar yang diperoleh tersebut merupakan jumlah partikel pati yang lolos dalam 80 lubang sepanjang 1 inch saringan thyller ukuran 80 mesh e. Swelling Power Dalam praktikum ini, kami melakukan pengujian terhadap daya serap air pati atau yang biasa disebut dengan swelling power. Metode yang kami gunakan dalam percobaan ini adalah metode sentrifugasi. Berdasarkan hasil pengamatan, Nilai swelling power pati alami cara basah adalah 2042,87% sedangkan nilai swelling power pati alami cara kering adalah 789,07%. Nilai swelling power yang dihasilkan oleh pati alami ubi jalar dengan menggunakan cara basah memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai swelling power yang dihasilkan oleh pati alami ubi jalar dengan menggunakan cara kering. Hal tersebut dapat terjadi karena pengaruh perendaman yang dilakukan pada proses ekstraksi pati alami cara basah, sehingga menyebabkan masuknya air ke dalam molekul pati, oleh karena itu ikatan antarmolekul pati akan melemah sehingga nilai swelling power pati akan menjadi lebih tinggi. Dalam hal ini Swelling power sangat dipengaruhi oleh ikatan antarmolekul penyusun pati. Dengan masuknya air ke dalam molekul pati, ikatan antarmolekul pati akan melemah sehingga nilai swelling power pati lebih tinggi daripada pati alami Aziz, 2004. Swelling power sangat dipengaruhi oleh keberadaan gugus amilosa sebagai salah satu komponen penyusun pati. Semakin lama waktu proses, maka semakin banyak amilosa yang tereduksi, sehingga penurunan jumlah amilosa tersebut mengakibatkan kenaikan swelling power Sasaki dan Matsuki, 1998 dalam Artiani, 2007. f. Struktur Granula Pati Selanjutnya dalam praktikum ini, kami melakukan pengujian terhadap bentuk granula pati dengan menggunakan mikroskop digital. Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh gambar yang menunjukan bentuk dan ukuran granula pati dari setiap masing-masing perlakuan. Gambar bentuk ukuran granula pati yang ditunjukan oleh pati dari kedua jenis perlakuan tersebut menunjukan bentuk dan ukuran granula pati yang sama yaitu berbentuk bulat tak beraturan. Hal yang membedakannya adalah kecerahan dan kejernihan penampakan yang terlihat dari penampang bentuk dan ukuran granula pati. Dimana dapat kita lihat bahwa bentuk dan ukuran granula pati dengan menggunakan cara kering terlihat lebih cerah dan lebih jernih daripada bentuk dan ukuran granula pati dengan menggunakan cara basah. Selain daripada itu, granula pati dengan menggunakan cara basah terlihat lebih padat dan bentuk molekulnya cederung lebih besar dibandingkan dengan bentuk dan ukuran granula pati cara kering. Hal tersebut dapat terjadi karena pengaruh perendaman dimana granula pati akan menyerap air dan membengkak, tetapi jumlah air yang diserap dan pembengkakannya terbatas. Selain menyerap air lebih banyak, pati dengan kadar amilosa yang tinggi memiliki daya kembang yang lebih besar saat dimasak. 2. Modifikasi Pati Dalam praktikum ini, kami melakukan percobaan mengenai modifikasi pati. Dalam pelaksanaannya kami menggunakan teknologi pengolahan modifikasi pati yang berbeda yaitu pati termodifikasi pregelatinisasi dan pati pra masak. Tentu saja hal tersebut akan mempengaruhi terhadap produk pati yang dihasilkan. Hal yang kami amati dalam praktikum ini antara lain adalah rendemen, warna/derajat putih, aroma, tekstur mesh, bentuk granula pati, dan daya serap air/swelling power. a. Rendemen Pada tiap jenis pati, perlakuan modifikasi tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kadar air, kadar abu, kadar Ca dan kadar lemak. Retrogradasi gel pati sebagai hasil modifikasi fisik menyebabkan keluarnya air dari matriks gel sineresis karena bergabungnya molekul pati terutama amilosa Elliason and Gadmundsson, 1996, air menjadi mudah diuapkan saat pengeringan. Pada modifikasi kimia, Ca masuk dalam granula menggantikan gugus hidroksil molekul pati, terbentuk jembatan Ca dan membebaskan air. Air dalam bahan juga menjadi lebih mudah diuapkan. Hal ini diperkuat oleh Bryant and Hamaker 1997 yang menyatakan bahwa kation divalent dalam hal ini adalah ion Ca++ berikatan sangat kuat dengan molekul– molekul pati yang menyebabkan kemampuan menahan air pada bahan menurun. Berdasarkan hasil pengamatan, rendemen pati pra gelatinisasi memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan rendemen pati pra masak. Persentase rendemen pati pragelatinisasi adalah 65,40% sedangkan presentase rendemen pati pra masak adalah 11,82%. Hal tersebut dapat terjadi diduga karena pengaruh dari perlakuan yang diberikan, dimana pada pati pragelatinisasi dilakukan suspensi pati alami dengan air sebanyak 20% b/v yang secara tidak langsung hal tersebut dapat berpengaruh terhadap rendemen pati yang dihasilkan akan cenderung lebih besar dibandingkan dengan pati pra masak yang tidak ditambahkan dengan material apapun. b. Warna Berdasarkan hasil pengamatan, warna yang dihasilkan oleh kedua jenis pati termodifikasi tersebut menunjukan warna yang berbeda, pati pra masak menghasilkan warna kuning sementara pati pragelatinisasi menghasilkan warna coklat. Tentu saja hal tersebut dapat terjadi karena pengaruh dari perlakuan yang diberikan kepada masing-masing pati termodifikasi. Warna coklat yang dihasilkan dari pati pragelatinisasi diduga terjadi akibat dari adanya reaksi pencoklatan non enzimatis yang berupa reaksi maillard selama proses pengolahan yang menggunakan panas. Menurut Winarno 2002, reaksi Maillard merupakan reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat, yang sering dikehendaki atau kadang-kadang malahan menjadi pertanda penurunan mutu. Selain itu Dedi Fardiaz, dkk 1992 juga menyatakan bahwa Reaksi pencoklatan non enzimatik atau disebut juga reaksi maillard terjadi bila gula pereduksi bereaksi dengan senyawa-senyawa yang mempunyai gugus NH2 protein, asam amino, peptida, dan amonium. Reaksi terjadi apabila bahan pangan dipanaskan dan atau didehidrasi. Dalam protein terdapat bagian yang merupakan grup polar yang menjadi jenuh dengan mengadsorbsi air. Hal ini menyebabkan molekul protein bertambah besar dalam mobilisasinya, dan memungkinkan proses modifikasi intra dan intermolekuler dan kecepatan modifikasi ini semakin bertambah dengan semakin cepatnya reaksi pencoklatan. c. Aroma Berdasarkan hasil pengamatan, kedua jenis pati termodifikasi tersebut memiliki aroma yang sama yaitu aroma ubi jalar atau tepung ubi jalar. Hal ini menunjukan bahwa kedua jenis perlakuan terhadap pati termodifikasi tersebut tidak merubah kualitas aroma bahan baku atau bahan utama pembuatan pati alami senyawa volatilenya dapat dipertahankan. d. Tekstur Berdasarkan hasil pengamatan, tekstur dari kedua jenis pati termodifikasi tersebut memiliki tekstur dan tingkat kehalusan yang berbeda. Pati pra masak cenderung lebih halus dibandingkan dengan pati pra gelatinisasi, hal ini dapat terjadi karena perbedaan penggunaan ukuran ayakan thyller pada proses pengayakan. Dalam hal ini, pati pra masak menggunakan ayakan thyller 100 mesh terdapat 100 lubang dalam 1 inch sementara itu pati pragelatinisasi menggunakan ayakan thyller 60 mesh terdapat 60 lubang dalam 1 inch. Hal tersebut tentu saja akan berpengaruh terhadap produk pati yang dihasilkan. e. Swelling Power Dalam praktikum pengujian swelling power pati termodifikasi ini kami menggunakan metode sentrifugasi. Berdasarkan hasil pengamatan, keduanya memiliki nilai swelling power yang tidak jauh berbeda. Nilai swelling power pati pra masak adalah 1601,43 sementara itu nilai swelling power pati pragelatinisasi adalah 1652,8672%. Proses gelatinisasi terjadi apabila pati mentah dimasukan ke dalam air dingin. Granula pati akan menyerap air dan membengkak, tetapi jumlah air yang diserap dan pembengkakannya terbatas. Gelatinisasi merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam proses hidrolisis/liquifikasi, karena larutan pati harus sempurna. Jika larutan pati terlalu pekat, maka akan sulit tersuspensi dengan baik sehingga selama proses gelatinisasi, terjadi pengendapan partikel-partikel pati. Oleh karena itu, proses gelatinisasi ini dapat dilakukan dengan membuat bubur pati dengan konsentrasi antara 25-40 % padatan kering Winarno, 1996 dalam Jariyah, 2002. Swelling power sangat dipengaruhi oleh ikatan antarmolekul penyusun pati. Dengan masuknya air ke dalam molekul pati, ikatan antarmolekul pati akan melemah sehingga nilai swelling power pati lebih tinggi daripada pati alami Aziz, 2004. Hasil penelitian Adity 2009 mengatakan bahwa semakin kecil perbandingan pati dan air, maka semakin besar nilai swelling power nilai kelarutan, akibatnya swelling power dan kelarutan cenderung meningkat. Swelling power sangat dipengaruhi oleh keberadaan gugus amilosa sebagai salah satu komponen penyusun pati. Semakin lama waktu proses, maka semakin banyak amilosa yang tereduksi, sehingga penurunan jumlah amilosa tersebut mengakibatkan kenaikan swelling power Sasaki dan Matsuki, 1998 dalam Artiani, 2007. f. Struktur Granula Pati Dalam praktikum ini, kami menggunakan mikroskop digital untuk dapat melihat struktur granula pati termodifikasi. Hasil pengamatan menunjukan bahwa bentuk dan ukuran granula pati pada kedua pati termodifikasi tersebut memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda, dimana bentuk dan ukuran granula pati pragelatinisasi memiliki bentuk yang tidak beraturan dan cenderung padat sedangkan pati pra masak memiliki bentuk oval tak beraturan dan cenderung memiliki ruang kosong antara molekul yang satu dengan molekul yang lainnya. Perbedaan bentuk dan ukuran granula pati tersebut disebabkan oleh perlakuan yang diberikan terhadap masing-masing pati termodifikasi. Pada pati pragelatinisasi dilakukan pemanasan suspensi pati terlebih dahulu sehingga pati akan mengalami gelatinisasi dan berpengaruh terhadap struktur bentuk dari pati itu sendiri. Sumber Apriliyanti, Tina. 2010. Kajian Sifat Fisikokimia dan Sensori Tepung Ubi Jalar Ungu Ipomoea batatas blackie dengan Variasi Proses Pengeringan. Skripsi, Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Ayu, Disafitri Candra dan Yuwono, Sudarminto Setyo. 2014. Pengaruh Suhu Blansing dan Lama Perendaman Terhadap Sifat Fisik Kimia Tepung Kimpul Xanthosoma Sagittifolium. [Jurnal] Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No. 2 110-120 Kalsum, Nurbani dan Surfiana. 2013. Karakteristik Dekstrin dari Pati Ubi Kayu yang Diproduksi dengan Metode Pragelatinisasi Parsial. [Jurnal] Penelitian Pertanian Terapan Vol. 13 1 13-23 ISSN 1410-5020 Padmaningrum, Regina Tutik dan Utomo, M Pranjoto. 2009. Perubahan Warna dan Kadar Beta-Karoten dalam Tepung Ubi Jalar Ipomoea batatas, L Akibat Pemutihan. [Jurnal] Kimia FMIPA UNY dalam Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan penerapan MIPA. Retnaningtyas, Dyah Ayu dan Putri, Widya Dwi Rukmini. 2014. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar Oranye Hasil Modifikasi Perlakuan STTP Lama Perendaman dan Konsentrasi [Jurnal] Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No. 4 6877 Wulan, Siti Narsito dkk. 2006. Modifikasi Pati Sederhana dengan Metode Fisik, Kimia, dan Kombinasi Fisik-Kimia Untuk Menghasilkan Tepung Pra-masak Tinggi Pati Resisten yang Dibuat dari Jagung, Kentang, dan Ubi Kayu. [Jurnal] Teknologi Pertanian Vol. 7 No. 1 1-9 Wulandari, Betty. 2014. Penggunaan Pemanis Rendah Kalori pada Pembuatan Velva Ubi jalar Oranye Ipomoea batatas L. [Jurnal] Teknosains pangan Vol. 3 No. 3 ISSN 2302-0733 Nama Juliana M Nur NIM 1306948 Pati merupakan karbohidrat yang terdiri atas amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah bagian polimer linier dengan ikatan α-1,4 unit glukosa yang memiliki derajat polimerisasi setiap molekulnya yaitu 102-104 unit glukosa. Sedangkan amilopektin merupakan polimer α-1,4 unit glukosa yang memiliki percabangan α-1,6 unit glukosa dengan derajat polimerisasi yang lebih besar yaitu 104-105 unit glukosa. Bagian percabangan amilopektin terdiri dari α-Dglukosa dengan derajat polimerisasi sekitar 20-25 unit glukosa Kusnandar, 2011. Menurut Winarno 1992, kandungan pati yang terdapat di dalam ubi kayu adalah 34,6%. Amilosa merupakan fraksi pati yang terlarut. Molekul amilosa yang memiliki sifat hidrofilik dengan afinitas air yang tinggi menyebabkan amilosa pati semakin paralel dengan ikatan hidrogen. Apabila afinitas tersebut menurun maka ukuran pati akan membesar sehingga pada konsentrasi rendah akan terjadi presipitasi dan pada konsentrasi tinggi akan terbentuk gel. Hubungan antara molekul amilosa ini disebut retrogradasi. 1. Ekstraksi Pati Alami Pada praktikum Teknologi Pengolahan Serelia dan Umbi-umbian kali ini di lakukannya ekstraksi alami dan juga modifikasi pati. Yang bertujuan untuk mengetahui prosedur ekstraksi pati alami baik dengan metode basah ataupun kering dan tahapan penting yang memerlukan pengendalian untuk memperoleh produk berkualitas. Dengan bahan baku yang di gunakan adalah singkong dan ubi jalar. Pada proses ektraksi pati alami dapat di lakukan dengan cara basah dan cara kering. Berikut merupakan hasi dari atribut pengamatan yang telah di lakukan pada ekstraksi pati alami pada kedua bahan baku berupa singkong dan ubi jalar a. Pati Singkong Pati singkong adalah pati yang didapatkan dari umbi singkong Manihot utilissima. Sampai saat ini, pati singkong telah banyak dieksploitasi secara komersial dan masih merupakan sumber utama kebutahan pati. Pati yang diperoleh dari ekstraksi umbi singkong ini akan memberikan warna putih jika diekstraksi secara benar. Pati singkong memiliki granula dengan ukuran 5-35 μm dengan rata-rata ukurannya di atas 17 μm Samsuri, 2008. Granula pati singkong akan pecah apabila dipanaskan pada suhu gelatinisasinya. Pati singkong mengandung 83% amilopektin yang mengakibatkan pasta yang terbentuk menjadi bening dan kecil kemungkinan untuk terjadi retrogradasi. Suhu gelatinisasi pada 62-73ºC, sedangkan suhu pembentukan pasta pada 63ºC. Berikut pembahasanpembahasan dari hasil pengamatan yang telah dilakukan Rendemen Rendemen pada pati ini adalah presentase produk atau pati yang didapatkan dari menbandingkan berat awal bahan baku dengan berat akhir produk pati yang dihasilkan. Rendeman didapatkan dengan cara menghitung menimbang berat akhir bahan yang dihasilkan dari proses dibandingkan dengan berat bahan awal sebelum mengalami proses ekstraksi. Jika dilihat dari hasil pengamatan rendemen dari pati singkong dengan menggunakan cara kering dan cara basah ternyata hasilnya berbeda jauh. Pati singkong dengan cara kering menghasilkan rendemen sebesar 4,76% sedangkan pati singkong dengan cara basah menghasilkan rendemen sebesar 12,158%. Itu dikarenakan cara ekstraksi yang dilakukan dengan cara yang berbeda terhadap bahan baku pembuatan pati. Dengan menggunakan cara basah pada saat proses ekstraksi dimungkinkan akan ada banyak pati yang lolos saat penyaringan dan kemungkinan ampas bahan bakunyapun ikut lolos. Warna Derajat Putih Pati yang diperoleh dari ekstraksi umbi singkong ini akan memberikan warna putih jika diekstraksi secara benar. Samsuri, 2008. Dan jika dilihat dari hasil pengamatan kedua cara ekstraksi menghasilkan pati berwarna putihm artinya ekstraksi dilakukan dengan benar oleh kedua cara. Aroma Aroma yang di hasilkan dari pati setiap bahan baku baik singkong maupun ubi jalar dengan cara ektraksi basah dan cara ektraksi kering memiliki aroma yang sama yaitu aroma khas tepung. Ini di karenakan bahan baku yang sudah di ektraksi secara pengulangan dan proses pengeringan sehingga aroma bahan bakunya yang sudah menghilang sedangkan aroma patinya semakin kuat karena bahan baku sudah di buat dalam bentuk tepung atau di ambil patinya saja. Tekstur Mesh Dari tekstur bahan baku yang berbeda otomatis akan adanya perbedaan mesh dari setiap pati dengan cara ekstraksi basah maupun kering. Karena singkong banyak mengandung pati sehingga teksturnya yang lebih keras. Pada pati singkong baik ekstraksi cara basah maupun ektraksi cara kering menggunakan ayakan 100mesh. Penggunaan ukuran mesh ini mempengaruhi kehalusan pati karena semakin kecil ukuran mesh maka akan semakin halus pati yang lolos. Dan bagaimana kelolosan pada pati tersebut terhadap ayakan. Jika dibandingkan dengan pati ubi jalar yang hanya menggunakan ayakan 80 mesh itu artinya pati singkong memiliki tekstur leih halus dari pati ubi jalar. Gambar Granula Pati Granula pati adalah komponen utama yang tidak dapat pecah dalam air dingin, dan ketika ditambahkan ke air pada suhu ruang, hanya sedikit terjadi pemecahan sampai dilakukan pemanasan. Struktur granula pati yang terdiri dari kristal kristalit, micelles, area yang terorganisir dan bukan kristal tidak berbentuk, bukan kristal, fase gel. Area yang tidak terbentuk dari granula pati adalah akibat adanya air yang masuk dan enzim serta aktivitas asam. Kristal merupakan perubahan sejumlah besar rantai glukosa yang mengalami pengikatan hidrogen untuk membentuk area yang sulit bagi air dan enzim untuk menembus. Granula pati asli tidak dapat larut dalam air dingin, tetapi mengembang secara reversible ketika diletakkan dalam air dingin. Granula pati dalam pati yang berbahan dasar berbeda dan juga cara ekstraksi yang berbeda mempunyai bentuk granula butir yang berbeda-beda. Dengan mikroskop jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran, letak hilum yang unik, dan juga dengan sifat birefringent-nya. Distribusi ukuran granula pati berpengaruh terhadap kekuatan pembengkakan pati. Ukuran granula pati yang kecil, maka kekuatan pembengkakannya juga kecil. Uukuran dan bentuk granula pati yang didapatkan, hasil yang terlihat pada microscop bentuk pati terlihat lonjong dan bulat. Swelling Power Swelling power merupakan perbandingan berat pasta dengan berat pati kering, pasta ini termasuk amilopektin yang tidak larut dalam air. Oleh karena itu jika kandungan amilopektin pasta semakin berkurang, maka swelling powernya juga semakin berkurang HeeYoung An, 2005. Pada pati singkong dengan cara kering memiliki kadar swelling power yaitu 3147,30%, sedangkan pati singkong dengan cara basah memiliki kadar swelling power sebesar 3541,3%. Dari hasil dapat dilihat bahwa kadar swelling power pada pati singkong yang diekstraksi dengan cara basah memiliki kadar swelling yang lebih tinggi dibandingkan pati singkong yanag diekstraksi dengan cara kering, ini berarti pati singkong yang diekstraksi dengan cara basah lebih banyak menyerap air sehingga kadar swelling powernya tinggi sehingga volumenya pun lebih tinggi di bandingkan dengan pati singkong yang diekstraksi dengan cara kering. Selain karna disebabkan oleh cara pengekstraksiannya hal lain yang bisa menyebabkan persentase swelling power pada pati singkong yang diekstraksi dengan cara basah lebih tinggi juga karena penggunaan singkong dengan kadar amilosa yang tinggi maka akan menyerap air lebih banyak sehingga pengembangan volume juga semakin besar. b. Pati Ubi Jalar Pati ubi jalar merupakan pati yang di dapatkan dari ubi jalar. Ubi jalar Ipomoea batatas merupakan salah satu tanaman pangan tropis yang banyak terdapat di Indonesia. Ubi jalar memiliki potensi yang sangat layak untuk dipertimbangkan dalam menunjang program diversifikasi pangan yang berbasiskan pada produk tepung dan pati Honestin 2007. Pati ubi jalar belum banyak dimanfaatkan di Indonesia seperti pati ubi kayu, jagung dan garut. Ubi jalar memiliki empat varietas yang berbeda warna daging umbinya, yaitu Sukuh putih, Sari krem, Pakhong kuning muda, dan Ayamurasaki ungu tua. Warna daging umbi berpengaruh terhadap derajat putih pati; nilai derajat putih tertinggi pada pati dari varietas Sari 91,2%. Rendemen pati tertinggi diperoleh dari pati varietas Sukuh dan Ayamurasaki, masing-masing 14,5% dan 14,2%; nilai ini berkorelasi positif dengan kadar pati pada umbi segar. Pati varietas Sukuh memiliki tingkat kekerasan dan kekuatan gel tertinggi, berkaitan dengan kadar amilosanya yang tertingggi juga 39% bk. Berikut pembahasanpembahasan dari hasil pengamatan yang telah dilakukan Rendemen Jika dilihat dari hasil pengamatan rendemen dari pati ubi jalar dengan menggunakan cara kering dan cara basah ternyata hasilnya berbeda jauh. Pati ubi jalar dengan cara kering menghasilkan rendemen sebesar 3,15% sedangkan pati ubi jalar dengan cara basah menghasilkan rendemen sebesar 4,3769%. Itu dikarenakan cara ekstraksi yang dilakukan dengan cara yang berbeda terhadap bahan baku pembuatan pati. Dengan menggunakan cara basah pada saat proses ekstraksi dimungkinkan akan ada banyak pati yang lolos saat penyaringan dan kemungkinan ampas bahan bakunyapun ikut lolos. Warna Derajat Putih Warna dari pati ubi jalar pada kedua cara menghasilkan warna krem, berbeda dengan singkong yang menghasilkan pati berwarna putih. Itu disebabkan warna pigmen pada daging ubi jalar dan singkong jelas berbeda sehingga menghasilkan warna pati yang berbeda pula. Selain itu menurut Rosmakan dan Yuwono 2002 ubi jalar yang berwarna lebih cerah atau putih lebih diarahkan untuk pengembangan tepung dan pati karena umbi yang berwarna cerah cenderung lebih baik kadar patinya dan warna tepungnya pun lebih menyerupai terigu. Aroma Aroma yang di hasilkan dari pati setiap bahan baku baik singkong maupun ubi jalar dengan cara ektraksi basah dan cara ektraksi kering memiliki aroma yang sama yaitu aroma khas tepung. Ini di karenakan bahan baku yang sudah di ektraksi secara pengulangan dan proses pengeringan sehingga aroma bahan bakunya yang sudah menghilang sedangkan aroma patinya semakin kuat karena bahan baku sudah di buat dalam bentuk tepung atau di ambil patinya saja. Tekstur Mesh Ubi jalar banyak mengandung air sehingga teksturnya lebih empuk. Setelah proses ekstraksi, di lakukan pengayakan dengan ayakan 60-100 mesh. Pati ubi jalar menggunakan ayakan 80 mesh. Penggunaan ukuran mesh ini mempengaruhi jumlah rendemen kehalusan pati karena semakin kecil ukuran mesh maka akan semakin halus pati yang dihasilkan. Dan bagaimana kelolosan pada pati tersebut terhadap ayakan. Sehingga pati ubi jalar lebih kasar dibandingkan dengan pati singkong, karena memiliki ukuran mesh yang lebih besar. Gambar Granula Pati Granula pati adalah komponen utama yang tidak dapat pecah dalam air dingin, dan ketika ditambahkan ke air pada suhu ruang, hanya sedikit terjadi pemecahan sampai dilakukan pemanasan. Struktur granula pati yang terdiri dari kristal kristalit, micelles, area yang terorganisir dan bukan kristal tidak berbentuk, bukan kristal, fase gel. Area yang tidak terbentuk dari granula pati adalah akibat adanya air yang masuk dan enzim serta aktivitas asam. Kristal merupakan perubahan sejumlah besar rantai glukosa yang mengalami pengikatan hidrogen untuk membentuk area yang sulit bagi air dan enzim untuk menembus. Granula pati asli tidak dapat larut dalam air dingin, tetapi mengembang secara reversible ketika diletakkan dalam air dingin. Granula pati dalam pati yang berbahan dasar berbeda dan juga cara ekstraksi yang berbeda mempunyai bentuk granula butir yang berbeda-beda. Dengan mikroskop jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran, letak hilum yang unik, dan juga dengan sifat birefringent-nya. Distribusi ukuran granula pati berpengaruh terhadap kekuatan pembengkakan pati. Ukuran granula pati yang kecil, maka kekuatan pembengkakannya juga kecil. Uukuran dan bentuk granula pati yang didapatkan, hasil yang terlihat pada microscop bentuk pati terlihat lonjong dan bulat. Swelling Power Pada pati ubi jalar dengan cara kering memiliki kadar swelling power yaitu 789,07%, sedangkan pati ubi jalar dengan cara basah memiliki kadar swelling power sebesar 2042,87%. Dari hasil dapat dilihat bahwa kadar swelling power pada pati ubi jalar yang diekstraksi dengan cara basah memiliki kadar swelling yang lebih tinggi dibandingkan pati ubi jalar yanag diekstraksi dengan cara kering, ini berarti pati ubi jalar yang diekstraksi dengan cara basah lebih banyak menyerap air sehingga kadar swelling powernya tinggi sehingga volumenya pun lebih tinggi di bandingkan dengan pati ubi jalar yang diekstraksi dengan cara kering. Selain karna disebabkan oleh cara pengekstraksiannya hal lain yang bisa menyebabkan persentase swelling power pada pati ubi jalar yang diekstraksi dengan cara basah lebih tinggi juga karena penggunaan ubi jalar dengan kadar amilosa yang tinggi maka akan menyerap air lebih banyak sehingga pengembangan volume juga semakin besar. 2. Modifikasi Pati Pada praktikum kali ini juga di lakukan prosedur dan pembuatan modifikasi pada pati, baik itu pati pregelatinisasi dan juga tepung pramasak termodifikasi. Pati yang di gunakan adalah pati ekstraksi alami yang sudah di buat dan juga bahan baku yang sama yaitu singkong dan ubi jalar. Pati termodifikasi adalah pati yang gugus hidroksilnya telah diubah lewat suatu reaksi kimia acetylasi, esterifikasi, sterifikasi atau oksidasi atau dengan mengganggu struktur asalnya Fleche, 1985. Pati diberi perlakuan tertentu dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya atau untuk merubah beberapa sifat sebelumnya atau untuk merubah beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini dapat mencakup penggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru dan atau perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati. Pati yang telah termodifikasi akan mengalami perubahan sifat yang dapat disesuaikan untuk keperluan-keperluan tertentu. Sifat-sifat yang diinginkan adalah pati yang memiliki viskositas yang stabil pada suhu tinggi dan rendah, daya tahan terhadap kondisi asam dan suhu sterilisasi Wirakartakusuma, et al., 1989. a. Pregelatinisasi pada pati Salah satu sifat pati adalah tidak larut dalam air dingin, karena molekulnya berantai lurus atau bercabang tidak berpasangan, sehingga membentuk jaringan yang mempersatukan granula pati. Kesulitan dalam penggunaan patiadalah pemasakannya memakan waktu yang cukup lama dan pasta yang terbentuk juga cukup keras. Selain itu terjadinya proses retrogradasi dan sineresis pada pati alami sering tidak dikehendaki. Retrogradasi merupakan proses kristalisasi kembali dan pembentukan matrik pati yang telah mengalami gelatinisasi akibat pengaruh suhu. Cara untuk mengatasi hal tersebut yaitu perlu dilakukan modifikasi pati sehingga diperoleh sifat-sifat yang cocok untuk aplikasi tertentu. Pregelatinisasi pati merupakan teknik modifikasi pati secara fisik yang paling sederhana yang dilakukan dengan cara memasak pati di dalam air sehingga tergelatinisasi sempurna, kemudian mengeringkan pasta pati yang dihasilkan dengan menggunakan spray dryer atau drum dryer. Setelah mengalami gelatinisasi maka pati pregelatinisasi tidak lagi memiliki penampakan granula pati. Pati pregelatinisasi bersifat instan, dimana dapat larut dalam air dingin cold water soluble. Di samping itu, pati pregelatinisasi memiliki viskositas yang lebih rendah dibanding pati yang tidak dipregelatinisasi. Pregeletinisasi pada pati ini menggunakan dua bahan baku yaitu singkong dan jalar, yang sebelumnya sudah di lakukan proses pembuatan pati dengan cara ekstraksi basah dan kering dari setiap bahan baku. Berikut pembahasan-pembahasan dari hasil pengamatan yang telah dilakukan Rendemen % Jika dilihat dari hasil pengamatan rendemen dari pati singkong dengan rendemen dari pati ubi jalar dengan menggunakan metode yang sama yaitu pregelatinisasi hasilnya berbeda jauh. Pati singkong menghasilkan rendemen sebesar 8,1885% sedangkan pati ubi jalar menghasilkan rendemen sebesar 64,40%. Seharusnya rendemen pati pada singkong lebih banyak dibandingkan ubi jalar, karena pati singkong memiliki tekstur yang lebih halus dari pada ubi jalar yang memungkinkan pati banyak yang lolos pada saat pengayakan. Perbedaan dengan teori ini disebabkan kesalahan pada saat praktikum ketika pengayakan. Warna derajat putih Pati dengan cara pregelatinisasi berpengaruh terhadap warna karena pada umumnya pati itu berwarna putih. Namun jika dilihat dari hasil pengamatan, pati singkong menghasilkan warna putihkrem sedangkan pati ubi jalar berwarna cokelat. Kondisi ini disebabkan oleh proses pemanasan pada pre gelatinisasi akan melarutkan beberapa komponen kimia dalam tepung dan sel pati seperti gula, amilosa, protein. Proses pengeringan kembali pati yang tergelatinisasi memungkinkan senyawa-senyawa terlarut tersebut, seperti gula perduksi dan protein bereaksi menghasilkan pigmen berwarna coklat atau krem Hapsari, 2013. Aroma Aroma pati akan dipengaruhi oleh komposisi kimia yang terkandung dalam ubi jalar. Berdasarkan hasil praktikum diperoleh pati yang beraroma ubi. Seharusnya pati yang dihasilkan tidak beroma, namun komposisi kimia ubi jalar yang menjadikan pati ubi jalar yang dihasilkan beraroma ubi. Aroma pati ubi jalar dapat berkurang dipengaruhi oleh proses perolehan pati. Proses pemanasan/ pengeringan pada saat ekstraksi pati mungkin bisa menguapkan atau mereduksi senyawa-senyawa kimia penghasil aroma pada pati yang dihasilkan. Tekstur mesh Uji makroskopik dilakukan untuk mengetahui ukuran pati ubi jalar dan pati songkong yang dihasilkan. Uji ini menggunakan bantuan ayakan bertingkat dengan mesh 60, 80, dan 100. Pati ubi jalar Pregelatinisasi memiliki kehalusan 60 mesh. Sedangkan pati singkong memiliki kehalusan 100 mesh. Hal ini sesuai pada Farmakope Indonesia IV 1995 yang menyatakan bahwa pati alami berbentuk serbuk sangat halus. Semakin besarnya ukuran pati pregelatin disebabkan karena proses gelatinasi yang terjadi. Proses gelatinasi mengakibatkan granul-granul pati pecah dan berubah menjadi susunan yang bergerombol Kurniadi, 2010 dalam Karisma. Granula pati Proses gelatinasi adalah proses pembentukan gel akibat adanya penambahan air dan pemanasan pada suhu yang sesuai, menyebabkan granul-granul amilum mengembang lalu pecah menjadi susunan yang bergerombol. Semakin tinggi suhu pemanasan dan penambahan air maka akan semakin sempurna proses gelatinasi, ditandai dengan semakin banyaknya granulgranul yang bergerombol Kurniadi, 2010. Susunan yang bergerombol ini menghasilkan amilum dengan ukuran partikel berbentuk granul. Pada pati pregelatinisasi memiliki bentuk yang lebih besar akibat terjadinya pengembangan karena absorbsi air yang dilakukan oleh pati. Bentuk granula pati termodifikasi lebih besar dengan bentuk yang tidak seragam. Distribusi ukuran granula pati berpengaruh terhadap kekuatan pembengkakan pati. Ukuran granula pati yang kecil, maka kekuatan pembengkakannya juga kecil. Smith 1982 menambahkan bahwa Pada struktur granula pati, amilosa dan amilopektin tersusun dalam suatu cincin-cincin. Jumlah cincin dalam suatu granula kurang lebih berjumlah 16, dimana sebagian berbentuk lapisan amorf dan sebagian berbentuk lapisan semikristal. Amilosa dan amilopektin di dalam granula pati dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Apabila granula pati dipanaskan di dalam air, maka energy panas akan menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah. Karena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air sangatlah besar pula. Terjadi peningkatan viskositas disebabkan air yang dulunya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspense dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak bebas lagi. Ukuran granula terutama berpengaruh pada profil gelatinisasi, interaksiamilosa-lipid, kelarutan dan swelling volume serta kemudahan didegradasi oleh enzim. Semakin besar ukuran granula menyebabkan granula bersifat lebih kristalin, lebih sedikit membentuk kompleks dengan lemak, lebih sedikit larut dan mengembang serta lebih lambat didegradasi enzim Lindeboom et al., 2004. Swelling power Pada pati ubi jalar memiliki kadar swelling power yaitu 1652,8672% sedangkan pati singkong memiliki kadar swelling power sebesar 3929,417%. Dari hasil dapat dilihat bahwa kadar swelling power pada pati singkong memiliki kadar swelling yang lebih tinggi dibandingkan pati ubi, ini berarti pati singkong lebih banyak menyerap air sehingga kadar swelling powernya tinggi sehingga volumenya pun lebih tinggi di bandingkan dengan pati ubi jalar. Selain karna disebabkan oleh cara pengekstraksiannya hal lain yang bisa menyebabkan persentase swelling power pada pati singkong lebih tinggi juga karena singkong memiliki kadar amilosa yang tinggi maka akan menyerap air lebih banyak sehingga pengembangan volume juga semakin besar. b. Tepung pra-masak termodifikasi Tepung pra masak termodifikasi merupakan cara mendapatkan rendemen pati dengan cara pendinginan yang dilakukan untuk menggelatinisasi pati yang terdapat pada suatu bahan. Maquenne 1993 dalam Jacobson and BeMiller 1998 menemukan pengaruh suhu terhadap tingkat retrogradasi pati, dimana kecepatan retrogradasi akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu. Makin rendah suhu, makin cepat proses retrogradasi dan makin banyak pati. Berikut pembahasan-pembahasan dari hasil pengamatan yang telah dilakukan Rendemen % Jika dilihat dari hasil pengamatan rendemen dari pati singkong dengan rendemen dari pati ubi jalar dengan menggunakan metode yang sama yaitu pra-masak hasilnya berbeda jauh. Pati singkong menghasilkan rendemen sebesar 109,2323% sedangkan pati ubi jalar menghasilkan rendemen sebesar 11,82%. Pati pada singkong lebih banyak dibandingkan pati pada ubi jalar dikarenakan pati singkong memiliki tekstur yang lebih halus dari pada ubi jalar yang memungkinkan pati banyak yang lolos pada saat pengayakan. Warna derajat putih Pati dengan cara pregelatinisasi berpengaruh terhadap warna karena pada umumnya pati itu berwarna putih. Namun jika dilihat dari hasil pengamatan, pati singkong menghasilkan warna putihkrem sedangkan pati ubi jalar berwarna cokelat. Kondisi ini disebabkan oleh proses pemanasan pada pre gelatinisasi akan melarutkan beberapa komponen kimia dalam tepung dan sel pati seperti gula, amilosa, protein. Proses pengeringan kembali pati yang tergelatinisasi memungkinkan senyawa-senyawa terlarut tersebut, seperti gula perduksi dan protein bereaksi menghasilkan pigmen berwarna coklat atau krem Hapsari, 2013. Aroma Aroma pati akan dipengaruhi oleh komposisi kimia yang terkandung dalam ubi jalar. Berdasarkan hasil praktikum diperoleh pati yang beraroma ubi. Seharusnya pati yang dihasilkan tidak beroma, namun komposisi kimia ubi jalar yang menjadikan pati ubi jalar yang dihasilkan beraroma ubi. Aroma pati ubi jalar dapat berkurang dipengaruhi oleh proses perolehan pati. Proses pemanasan/ pengeringan pada saat ekstraksi pati mungkin bisa menguapkan atau mereduksi senyawa-senyawa kimia penghasil aroma pada pati yang dihasilkan. Tekstur mesh Uji makroskopik dilakukan untuk mengetahui ukuran pati ubi jalar yang dihasilkan. Uji ini menggunakan bantuan ayakan bertingkat dengan mesh no. 60, 80, dan 100. Pati ubi jalar pra masak dan pati singkong memiliki kehalusan 100 mesh. Hal ini sesuai pada Farmakope Indonesia IV 1995 yang menyatakan bahwa pati alami berbentuk serbuk sangat halus. Semakin besarnya ukuran pati pregelatin disebabkan karena proses gelatinasi yang terjadi. Proses gelatinasi mengakibatkan granul-granul pati pecah dan berubah menjadi susunan yang bergerombol Kurniadi, 2010 dalam Karisma. Granula pati Proses gelatinasi adalah proses pembentukan gel akibat adanya penambahan air dan pemanasan pada suhu yang sesuai, menyebabkan granul-granul amilum mengembang lalu pecah menjadi susunan yang bergerombol. Semakin tinggi suhu pemanasan dan penambahan air maka akan semakin sempurna proses gelatinasi, ditandai dengan semakin banyaknya granulgranul yang bergerombol Kurniadi, 2010. Susunan yang bergerombol ini menghasilkan amilum dengan ukuran partikel berbentuk granul. Pada pati pregelatinisasi memiliki bentuk yang lebih besar akibat terjadinya pengembangan karena absorbsi air yang dilakukan oleh pati. Bentuk granula pati termodifikasi lebih besar dengan bentuk yang tidak seragam. Distribusi ukuran granula pati berpengaruh terhadap kekuatan pembengkakan pati. Ukuran granula pati yang kecil, maka kekuatan pembengkakannya juga kecil. Smith 1982 menambahkan bahwa Pada struktur granula pati, amilosa dan amilopektin tersusun dalam suatu cincin-cincin. Jumlah cincin dalam suatu granula kurang lebih berjumlah 16, dimana sebagian berbentuk lapisan amorf dan sebagian berbentuk lapisan semikristal. Amilosa dan amilopektin di dalam granula pati dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Apabila granula pati dipanaskan di dalam air, maka energy panas akan menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah. Karena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air sangatlah besar pula. Terjadi peningkatan viskositas disebabkan air yang dulunya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspense dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak bebas lagi. Ukuran granula terutama berpengaruh pada profil gelatinisasi, interaksiamilosa-lipid, kelarutan dan swelling volume serta kemudahan didegradasi oleh enzim. Semakin besar ukuran granula menyebabkan granula bersifat lebih kristalin, lebih sedikit membentuk kompleks dengan lemak, lebih sedikit larut dan mengembang serta lebih lambat didegradasi enzim Lindeboom et al., 2004. Swelling power Pada pati ubi jalar memiliki kadar swelling power yaitu 1601,43% sedangkan pati singkong memiliki kadar swelling power sebesar 3002,14%. Dari hasil dapat dilihat bahwa kadar swelling power pada pati singkong memiliki kadar swelling yang lebih tinggi dibandingkan pati ubi, ini berarti pati singkong lebih banyak menyerap air sehingga kadar swelling powernya tinggi sehingga volumenya pun lebih tinggi di bandingkan dengan pati ubi jalar. Selain karna disebabkan oleh cara pengekstraksiannya hal lain yang bisa menyebabkan persentase swelling power pada pati singkong lebih tinggi juga karena singkong memiliki kadar amilosa yang tinggi maka akan menyerap air lebih banyak sehingga pengembangan volume juga semakin besar. Sumber Andarwulan, N., F. Kusnandar, dan D. Herawati. 2011. Analisis Pangan. PT Dian Rakyat. Jakarta. Fleche G. 1985. Chemical Modifikation and Degradation of Starch, Di dalam Van Beynum dan Roels ed Starch conversion technology. London Applied Science Publ. Hee-Young An. 2005. Effects of Ozonation and Addition of Amino acids on Properties of Rice Starches. A Dissertation Submitted to the Graduate Faculty of the Louisiana state University and Agricultural and Mechanical College Hapsari, Titi. 2013. Pengaruh Pre Gelatinisasi Terhadap Karakteristik Tepung Singkong. Jurnal Penelitian. Online content/uploads/2013/04/HAPSARI-TITI-PALUPI-Pe Diakses pada 25 April 2015. Honestin, T. 2007. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Jalar. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. 120 hlm Jacobson, and BeMiller. 1998. Method for Determining The Rate and Extent of Accelerated Starch Retrogradation. Cereal Chem 75 1 22-29 Karisma Sari, Kadek Lenny., Jemmy Anton Prasetia, dan Cok. Istri Sri Arisanti. Pengaruh Rasio Amilum Air Dan Suhu Pemanasan Terhadap Sifat Fisik Amilum Singkong Pregelatin Yang Ditujukan Sebagai Eksipien Tablet. Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana. Kurniadi, Tedi. 2010. Kopolimerisasi Grafting Monomer Asam Akrilat Pada Onggok Singkong dan Karakteristiknya. Tesis. Bogor Sekolah Pascasarjana IPB Lindeboom et al.. 2004. Analytical, biochemical, and physicochemical aspect of starch granule size with emphasis on small granulastarches A Review. Starch/starke. 5689-99. Rosmarkam, A. dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Yogyakarta. Samsuri, Bilal. 2008. Penggunaan Pragelatinisasi Pati Singkong Suksinat Sebagai Matriks Dalam Sediaan Tablet Mengapung Verapamil HCL. Skripsi. FMIPA-UI. Depok. Smith, P. S. 1982. Starch Derivatives and Their Use in Foods. Di dalam Lineback, D. R. dan Inglett, G. E. eds.. Food Carbohydrates. The AVI Publishing Company Inc., Westport, Connecticut. Winarno, FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wirakartakusumah, K. Abdullah, dan Syarif. 1992. Sifat Fisik Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Nama Mita Maharani Bahriah NIM 1305741 Berdasarkan hasil ekstraksi pati ubi kayu dan ubi jalar, rendemen pati yang dihasilkan dari ubi kayu adalah 4,76 % cara kering dan 12,158% cara basah, dan dari ubi jalar adalah 3,15% cara basah dan 4,3769% cara kering. Hasil ekstraksi dengan dua cara yang berbeda ini menunjukan hasil yang berbeda, ekstraksi cara kering cenderung memberikan hasil yang lebih sedikit dibandingkan dengan cara basah, hal ini terjadi, karena adanya proses perebusan yang menyebabkan penyerapan air pada bahan, sehingga meningkatkan berat dari bahan yang tentunya berpengaruh terhadap rendemen dan kadar air yang dihasilkan. Pada pati termodifikasi, dengan dua variasi perlakuan yaitu pregelatinisasi dan pra-masak, menunjukan hasil yang sangat bervariasi. Pati pragelatinisasi yang dihasilkan dari ubi kayu sekitar 8,1885 , dan ubi jalar 65,40%, sedangkan pada pati pra-masak dari ubi kayu adalah 109,2323%, dan ubi jalar 11,82 . Hasil yang bervariasi ini kemungkinan karena adanya cacat data atau human error pada proses pengujian atau proses ekstraksi sehingga menyebabkan tidak akuratnya data. Namun pada beberapa penelitian lain yang dilakukan oleh Wulan et al. 2006, bahwa kadar pati resisten yang dihasilkan dari modifikasi pramasak dari ubi kayu didapatkan hasil sekitar 6% dari kadar pati total 30%. Warna atau derajat putih yang dihasilkan dari ekstraksi pati dengan dua cara yang berbeda tidak tidak menunjukan perbedaan yang signifikan terhadap derajat putih yang dihasilkan, namun derajat putih yang dihasilkan dari bahan yang berbeda memberikan warna yang berbeda, seperti pada ekstrak pati yang didapatkan dari ubi kayu cenderung berwarna putih pucat sedangkan dari ubi jalar adalah putih cream. Hal ini terjadi karena perbedaan pigmen yang terdapat dalam bahan. Hal ini juga terjadi pada pati pragelatinisasi, warna yang dihasilkan dari ubi jalar menunjukan hasil kecoklata, hal ini kmungkinan terjadi karena adanya pencoklatan selama proses pragelatinisasi, karena adanya pemanasan. Pre gelatinisasi memberikan penurunan tingkat penerimaan panelis terhadap warna tepung singkong, dibandingkan perlakuan tanpa pre gelatinisasi Hapsari, 2007. Hal ini dapat terjadi karena semakin terdegradasinya pigmen dalam tepung sehingga menurunkan ketajaman warna yang dihasilkan. Pada aspek aroma, setiap perlakuan tidak menunjukan adanya perbedaan ketajaman aroma pada ekstrak ubi kayu, namun terdapat perbedaan aroma ketajaman aroma yang dirasakan pada ekstrak ubi kayu dengan cara kering. Pada pati pra-masak terjadi modifikasi dalam sifat kimia dan fisik yang menurunkan daya cerna. Pada modifikasi pati secara kombinasi dan fisik, perlakuan pendinginan 4oC mengakibatkan pati yang telah tergelatinisasi menjadi teretrogradasi lebih cepat. Maquenne 1993 dalam Jacobson and BeMiller 1998 dalam Wulan 2006 menemukan pengaruh suhu terhadap tingkat retrogradasi pati, dimana kecepatan retrogradasi akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu. Makin rendah suhu, makin cepat proses retrogradasi dan makin banyak pati resisten yang terbentuk. Pendinginan sesudah pemasakan akan mengubah keadaan fisik polisakarida sehingga menurunkan kecernaannya Wulan, 2006. Asp and Bjork 1992 dalam Wulan 2006, menyatakan makin tinggi kadar amilosa pati maka makin tinggi pula kadar pati resistennya. Granula pati kaya amilosa mampu mengkristal yang lebih besar, disebabkan oleh lebih intensifnya ikatan hidrogen, akibatnya tidak dapat mengembang atau mengalami gelatinisasi sempurna pada waktu pemasakan sehingga tercerna lebih lambat. Menurut Be Miller and Whistler 1996 dalam Fennema 1996, gugus ester fosfat menyebabkan amilopektin pati menghasilkan gaya tolak-menolak Coulomb kentang yang bermuatan negatif mungkin memberikan kontribusi pada pengembangan granula pati kentang yang cepat dalam air hangat dan pada beberapa sifat pasta kentang seperti viskositas yang tinggi dan kejernihan clarity yang bagus serta laju retrogradasi yang rendah. Pada ubi kayu modifikasi fisik berperan meningkatkan kandungan pati resisten karena dapat memfasilitasi retrogradasi tanpa keberadaan gugus esterfosfat yang dapat mencegah penggabungan rantai molekul. Perlakuan pendinginan pada suhu rendah dan dilanjutkan pengeringan juga memfasilitasi retrogradasi amilopektin pada ubi kayu yang proporsinya cukup besar. Seperti dijelaskan Silverio, et al. 2000 bahwa retrogradasi amilopektin dapat difasilitasi dengan memberikan perlakuan siklus suhu-waktu. Daya Serap Air Swelling Power Pengujian daya serap air tepung ubi kayu, menggunakan metode sentrifugasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kalsum 2013, hasil pengujian daya serap air tepung ubi kayu, disajikan pada Gambar. Pada Gambar ini, terlihat bahwa ketersediaan pati, konsentrasi, dan suhu pemanasan pragelatinisasi parsial berpengaruh terhadap karakteristik kelarutan dalam air dan daya serap air dekstrin yang dihasilkan. Hasil pengujian pada Gambar 5, juga menunjukkan bahwa terjadi trend peningkatan daya serap air sesuai dengan semakin tingginya konsentrasi. Daya serap air terendah diperoleh pada perlakuan konsentrasi 20%. Dari hasil pengamatan, nilai daya serap air dekstrin ubi kayu berkisar antara 16,27 % - 20,67 % dengan nilai daya serap air dekstrin tertinggi terdapat pada dekstrin ubi kayu ketersediaan pati kering pada konsentrasi 50 % K4 dan pemanasan pada suhu 90oC T2 Gambar 5. Hasil pengujian pada Gambar 5, juga menunjukkan bahwa terjadi trend penurunan daya serap air akibat semakin tingginya suhu pemanasan untuk semua varietas. Sedangkan pati hasil ekstraksi dan modifikasi yang dihasilkan menunjukan swelling power yang cukup tinggi, yaitu berkisar pada 789,07 −3929,417 , swelling power terendah dihasilkan dari ekstrak pati kering ubi jalar, sedangkan yang paling tinggi didapatkan dari pati pregelatinisasi ubi kayu. Swelling power sangat dipengaruhi oleh ikatan antarmolekul penyusun pati. Dengan masuknya air ke dalam molukul pati, ikatan antarmolekul pati akan melemah sehingga nilai swelling power pati modifikasi lebih tinggi daripada pati alami Aziz, 2004 dalam Kalsum, 2012. Hasil penelitian Adity 2009 dalam Kalsum, 2012, mengatakan bahwa semakin kecil perbandingan pati dan air, maka semakin besar nilai swelling power nilai kelarutan, semakin besar dan volume minyak jahenya, akibatnya swelling power dan kelarutan cenderung meningkat. Swelling power sangat dipengaruhi oleh keberadaan gugus amilosa sebagai salah satu komponen penyusun pati. Semakin lama waktu proses, maka semakin banyak amilosa yang tereduksi, sehingga penurunan jumlah amilosa tersebut mengakibatkan kenaikan swelling power Sasaki dan Matsuki, 1998 dalam Artiani, 2007 dalam Kalsum, 2012. Granula pati yang dari pati hasil ekstraksi menunjukan bentuk yang masih bulat atau belum tergelatinisasi, hal ini berubah setelah dilakukan perlakuan seperti pregelatinisasi dan pra-masak yang telah mengalami gelatinisasi parsial sehingga hanya terlihat beberapa bulatan kecil dari granula pati. Sumber Hapsari, Titi P. A., Dkk. 2007. Pengaruh Pre Gelatinisasi Terhadap karakteristik Tepung Singkong. Universitas Yudharta. Kalsum, Nurbani, dan Surfiana. 2012. Karakteristik Dekstrin dari Pati Ubi Kayu yang Diproduksi dengan Metode Pragelatinisasi Parsial. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 13 1 13-23. Wulan, S. N., Dkk. 2006. Modifikasi Pati Sederhana Dengan Metode Fisik, Kimia, Dan Kombinasi Fisik Fisik- Kimia Untuk Untuk Menghasilkan Tepung Pra Tinggi Pati Resisten Yang Dibuat Dari Jagung, Dan Ubi Kayu. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 7 No. 1 April 1-9. Nama Utari Nur Amalia NIM 1300751 Pada praktikum kali ini yaitu dilakukan ekstraksi pati alami dan modifikasi pati. Pati alami native menyebabkan beberapa permasalahan yang berhubungan dengan retrogradasi, kestabilan rendah, dan ketahanan pasta yang rendah. Pati alami mempunyai kelemahan pada karakteristiknya yaitu tidak larut dalam air dingin, membutuhkan waktu yang lama dalam pemasakan, pasta yang dihasilkan cukup keras, dan mempunyai kestabilan yang rendah. Hal tersebut menjadi alasan dilakukan modifikasi pati Fortuna, Juszczak, and Palansinski, 2001. Pati termodifikasi adalah pati yang diberi perlakuan tertentu dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya atau merubah beberapa sifat lainnya. Pati dimodifikasi dengan tujuan untuk mempermudah penggunaan dalam industri pangan, lebih stabil dalam proses dan lebih baik teksturnya. Selain itu juga agar suhu gelatinisasinya lebih tinggi dan tahan panas serta agar viskositasnya lebih baik dari pati sebelumnya. Pati termodifikasi bersifat tidak larut dalam air dingin dan persamaan sifat birefringence-nya. Konsentrasi asam, temperatur, konsentrasi pati, dan waktu reaksi dapat bervariasi tergantung dari sifat pati yang diinginkan. Pembuatan pati pada prinsipnya adalah dengan ekstraksi. Sampel yang digunakan dalam pelaksanaan praktikum ini adalah singkong dan ubi jalar. Ekstaksi dilakukan dengan cara ekstraksi basah dan ekstraksi kering. Ekstraksi kering dilakukan dengan menghancurkan umbi yang telah dikupas dan di sortasi. Ekstraksi delakukan dengan perbandingan air dan umbi 4 1, kemudian dilakukan penyaringan, dan pengeringan. Sedangkan pada ekstraksi basah dilakukan pengeringan terlebih dahulu sebelum di hancurkan dengan grinder, setelah penghancuran dilakukan pengayakan dan perendaman pada air dengan perbandingan 1 5. Setelah pengendapan dilakukan pencucian dan barulah dikeringkan. Untuk mengetahui karakteristik pati dapat dilakukan beberapa uji seperti bentuk granula, gelatinisasi, kadar pati, dan swelling power. Bentuk dan ukuran morfologi granlua pati dipengaruhi oleh jenis bahan dasar sehingga mempunyai bentuk dan ukuran yang spesifik. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi dan berbeda beda tergantung jenis pati dan konsentrasinya. Kadar pati merupakan kriteria mutu dan kualitas pati murni yang dihasilkan. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui karakteristik warna, aroma, bentuk granula, rendemen pati, tekstur, dan juga kapasitas pembengkakan Swelling Power pati. Rendemen merupakan perbandingan berat produk yang diperoleh terhadap berat bahan baku yang digunakan. Perhitungan rendemen dilakukan berdasarkan berat kering bahan. Berdasarkan pengamatan, rendemen pati singkong dan ubi jalar dengan perlakuan ekstraksi basah memiliki rendemen lebih tinggi daripada rendemen pati dengan perlakukan ekstraksi kering. Proses ekstraksi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap mutu rendemen pati yang dihasilkan. Rendemen pati juga sangat berhubungan erat dengan kadar pati yang terkandung dalam umbi. Warna pada pati singkong hasil ekstraksi basah dan kering yaitu, putih. Sedangkan pada ubi jalar yaitu orange-krem. Warna pada pati singkong termodifikasi yaitu krem-kuning, sedangkan pada ubi jalar yaitu kuning. Aroma pada pati singkong dan ubi jalar hasil ekstraksi tidak begitu kuat, dibandingkan aroma pati termodifikasi, pati singkong dan ubi jalar termodifikasi lebih kuat aromanya. Tekstur merupakan salah satu parameter dalam pengujian sifat sensori organoleptik dengan menggunakan indera perabaan tangan yang dinyatakan dalam keras atau lunak. Tekstur pada pati ubi jalar hasil ekstraksi basah lebih kasar dari pada tekstur singkong. Berdasarkan pengamatan dan analisis dapat diketahui bahwa hasil uji Swelling power kapasitas pembengkakan pada pati yang tertinggi adalah pada pati ubi jalar hasil ekstraksi basah. Pada pati termodifikasi, hasil swelling power tertinggi adalah pada pati singkong modifikasi pra gelatinisasi. Pregelatinisasi merupakan teknik modifikasi pati secara spesifik yang paling sederhana yang dilakukan dengan cara memasak pati di dalam air sehingga tergelatinisasi sempurna. Pati pre gelatinisasi adalah pati yang mengalami proses gelatinisasi dan selanjutnya dikeringkan. Pati ini akan mengalami perubahan sifat fisik dan sifat pati alami. Menurut Padmaja et. al. 1996 modifikasi tepung secara pre gelatinisasi dengan perebusan parboiling dapat memperbaiki karakteristik dari pasta tepung. Swelling power sangat dipengaruhi oleh ikatan antarmolekul penyusun pati. Dengan masuknya air ke dalam molukul pati, ikatan antarmolekul pati akan melemah sehingga nilai swelling power pati lebih tinggi daripada pati alami Aziz, 2004. Hasil penelitian Adity 2009 mengatakan bahwa semakin kecil perbandingan pati dan air, maka semakin besar nilai swelling power nilai kelarutan. Swelling power sangat dipengaruhi oleh keberadaan gugus amilosa sebagai salah satu komponen penyusun pati. Semakin lama waktu proses, maka semakin banyak amilosa yang tereduksi, sehingga penurunan jumlah amilosa tersebut mengakibatkan kenaikan swelling power Sasaki dan Matsuki, 1998 dalam Artiani, 2007. Swelling power dipengaruhi oleh kemampuan molekul pati untuk mengikat air melalui pembentukan ikatan hidrogen. Setelah gelatinisasi ikatan hidrogen antara molekul pati terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Sehingga pati dalam tergelatinisasi dan granula-granula pati mengembang secara maksimal. Proses mengembangnya granula pati ini disebabkan karena perlakuan pre gelatinisasi secara parboiling perebusan. Pemanasan menyebabkan lemahnya ikatan hidrogen dalam granula, sehingga granula yang telah membengkak memiliki ukuran yang besar dan bersifat irreversibel. Ketika dilakukan proses pengeringan tepung yang telah tergelatinisasi, air mudah lepas dari ikatan hidroksil sehingga kadar air sedikit menurun. Menurut Kenneth, Leon and J Peter 1991 penggunaan panas yang terus meningkat menyebabkan ikatan hidrogen intermolukuler antara rantai amilosa dan rantai cabang amilopektin mulai melemah, sehingga granula pati mengembang secara cepat. Granula yang telah mengembang mempunyai struktur yang lebih lunak dan bersifat irreversible. Banyaknya air yang terserap kedalam tiap granula pati dan granula pati yang mengembang tersebut mengakibatkan swelling power menjadi meningkat. Temperatur merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi proses pre gelatinisasi. Jika pati tidak dipanaskan pada temperatur yang sesuai maka derajat pengembangan granula pati tidak tepat dan tidak memberikan sifat yang diinginkan. Perlakuan pre gelatinisasi sedikit menurunkan kadar amilosa. Hal ini disebabkan ketika pati dipanaskan dalam air pada temperatur gelatinisasi, energi panas menyebabkan ikatan hidrogen pati menjadi melemah. Ikatan yang lemah memudahkan air masuk ke dalam granula dan memungkinkan sedikit melarutnya dan terjadi pertukaran molekul amilosa menuju ke air. Bentuk granula dari pati singkong dan ubi jalar terlihat memiliki granula berbentuk bulat. Pada granula pati termodifikasi pragelatinisasi da pramasak memiliki bentuk yang sedikit berbeda. Pregelatinisasi merupakan salah satu teknik modifikasi fisik yang dapat mengatur ukuran partikel. Perlakuan pemanasan atau parboiling pada menyebabkan perubahan struktur dan ukuran granula. Proses pre gelatinisasi mengakibatkan granula pati mengembang, dan mengalami perubahan bentuk, meskipun tetap pada suatu lapisan atau fragmen yang melingkupinya. Proses pre gelatini asi ini bersifat ireversibel, dimana pati yang telah mengalami gelatinisasi tidak dapat kembali pada kondisi semula. Pregelatinisasi merupakan salah satu teknik modifikasi fisik yang dapat mengatur ukuran partikel. Proses Modifikasi Pati dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran partikel, temperatur, waktu reaksi, dan perbandingan berat air terhadap pati. Berikut beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses modifikasi pati secara umum 1. Ukuran Partikel Dalam proses modifikasi pati, ukuran partikel berpengaruh terhadap laju reaksi. Semakin kecil ukuran pati maka semakin cepat reaksi berlangsung karena ukuran partikel yang kecil akan meningkatkan luas permukaan serta meningkatkan kelarutan dalam air Saraswati, 2006. 2. Temperatur Secara umum temperatur berhubungan dengan laju reaksi. Makin tinggi temperatur, maka reaksi akan berlangsung lebih cepat. 3. Waktu reaksi Waktu reaksi berpengaruh terhadap tekstur pati yang dihasilkan. Waktu reaksi yang terlalu cepat mengakibatkan reaksi belum berjalan sempurna sedangkan jika waktu reaksi terlalu lama mengakibatkan terkstur yang kasar. Hal ini terjadi karena semakin lama waktu reaksi maka semakin banyak dinding sel singkong yang pecah sehingga terjadi pelubangan dari granula pati termodifikasi, hal ini menyebabkan permukaan yang tidak rata pada granula pati tersebut sehingga tekstur yang dihasilkan kasar Subagio, 2008. 4. Perbandingan Berat Air Terhadap pati Perbandingan berat air terhadap pati harus tepat agar pati dapat sempurna terlarut. Perbandingan yang terlalu besar akan menimbulkan pemborosan penggunaan pelarut, sedangkan perbandingan yang terlalu kecil dapat menyebabkan pengendapan pati. Menurut Sutrisno 2010 Kualitas pati ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu 1. Warna 2. Kandungan air 3. Tingkat kekentalan Sumber Ayu, Diah. 2014. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar Oranye Hasil Modifikasi Perlakuan Stpp Lama Perendaman Dan Konsentrasi Malang. Universitas Brawijaya Honestin, Trifena. 2007. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Jalar Bogor. Institut Pertanian Bogor Kalsum, Nurbani. of Cassava Starch Dextrin Processed with Pregelatination Partial Method Lampung. Politeknik Negeri Lampung Murwati., dkk. 2005. Teknologi Pembuatan Tepung dan Olahan Ubi Jalar Yogakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Titi, Hapsari. 2007. Pengaruh Pre Gelatinisasi Terhadap Karakteristik Tepung Singkong. Universitas Yudharta Nama Winni Trinita Maulandhiyani NIM 1304693 Pada praktikum kali ini, kami melakukan penelitian ekstraksi pati alami cara basah dan cara kering serta modifikasi pati pregelatinisasi dan tepung pra masak termodifikasi pada singkong dan ubi jalar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur ekstraksi pati alami baik dengan metode basah ataupun kering dan tahapan penting yang memerlukan pengendalian untuk memperoleh produk berkualitas. Selain itu, sebagai referensi bagi industri untuk menghasilkan pati termodifikasi dengan menggunakan tepung pati pregelatinisasi dan tepung pra masak. Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati tersusun dari dua macam karbohidrat, amilosa dan amilopektin, dalam komposisi yang berbeda-beda. Amilosa memberikan sifat keras pera sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Amilosa memberikan warna ungu pekat pada tes iodin sedangkan amilopektin tidak bereaksi Anonim, 2011. Ekstraksi pati merupakan suatu proses untuk mendapatkan pati dari suatu tanaman dengan cara memisahkan pati dari komponen lainnya yang terdapat pada tanaman tersebut. Ada beberapa metode dalam melakukan ekstraksi pati, antara lain alkaline steeping, wet milling, protein digestion, dan high intensity ultrasound. Drapcho dan Walker, 2008. Ekstraksi dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu ukuran bahan, suhu ekstraksi dan pelarut. Modifikasi pati dilakukan untuk mengatasi sifat-sifat dasar pati alami yang kurang menguntungkan seperti; tidak tahan panas, tidak tahan asam, tidak tahan gesekan dan pengadukan, kelarutan yang terbatas pada air, serta mudah mengalami sineresis, sehingga proses retrogradasi cepat terjadi. Sehingga dapat memperluas pemanfaatan pati dalam proses pengolahan pangan serta menghasilkan karakteristik produk pangan yang diinginkan. Pati termodifikasi adalah pati yang diperlakukan secara fisik atau kimia untuk mengubah salah satu atau lebih sifat fisik atau kimianya yang penting. Menurut Glicksman 1969, pati diberi perlakuan tertentu yang bertujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya atau untuk mengubah beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini dapat mencakup penggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi, atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru dan atau perubahan bentuk, ukuran, serta struktur molekul pati. Pati pregelatinisasi merupakan pati yang telah mengalami gelatinisasi dengan cara pemasakan dengan air di atas suhu gelatinisasinya kemudian dikeringkan, dibuat untuk memudahkan pelarutan dalam proses pengolahan. Biasanya pati pregelatinisasi dibuat dengan cara membuat pasta kadar pati dalam pasta 55% dan 45% berat kering, selanjutnya dikeringkan pada suhu sekitar 800C dan 1000C dengan menggunakan drum drier Anonim, 2001. Nama lain dari pati pregelatinisasi adalah precooked starch, pregelled starch, instant starch, cold water starch, dan cold water swellable starch. Pregelatinisasi merupakan salah satu bentuk transformasi fisik, untuk menghasilkan pati yang larut dalam air dingin Fennema, 1982. Rendemen % Rendemen merupakan persentase berat produk yang diperoleh terhadap berat bahan baku yang digunakan. Perhitungan rendemen dilakukan berdasarkan berat kering bahan. Rendemen tepung menyatakan nilai efisiensi dari proses pengolahan sehingga dapat diketahui jumlah tepung yang dihasilkan dari bahan dasar awalnya Anonim, 2011. Hasil perhitungan rendemen pati yang diperoleh dari ekstraksi cara kering dan cara basah pati singkong dan pati ubi jalar diketahui bahwa rendemen pati tertinggi terdapat pada ekstraksi basah pati singkong dengan rendemen 12,158%, sedangkan pada ekstraksi kering pati singkong yaitu 4,76%. Berikutnya rendemen pati yang diperoleh pada ekstraksi basah pati ubi jalar yaitu 4,3769% dan rendemen pati terendah terdapat pada ekstraksi kering pati ubi jalar dengan rendemen 3,15%. Berdasarkan data perhitungan rendemen hasil ekstraksi cara kering dan cara basah pati singkong dan pati ubi jalar dapat diketahui pada ekstraksi basah pati singkong memiliki kandungan pati yang tertinggi dan dengan demikian diketahui pula bahwa semakin rendah berat pati alami maka semakin rendah pula rendemen pati yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guritno 2003. Perbedaan hasil persentase perhitungan rendemen kemungkinan karena ekstraksi dipengaruhi beberapa faktor yaitu 1. Ukuran bahan. Proses pengecilan ukuran bahan memiliki tujuan untuk memperluas permukaan bahan sehingga mempercepat penetrasi pelarut ke dalam bahan yang akan diekstrak dan mempercepat waktu ekstraksi. Semakin kecil ukuran bahan akan semakin luas permukaan bahan namun dapat berakibat terbawanya padatan inert di dalam pelarut sehingga mengganggu aktivitas pelarut. Selain untuk memperluas, tujuan lainnya adalah agar homogen sehingga kontak dengan solventnya dapat seragam di semua bagian. 2. Suhu Ekstraksi. Ekstraksi lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi. Kondisi suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan berubahnya struktur antioksidan. Sehingga dibutuhkan kondisi suhu yang optimal. 3. Pelarut. Pelarut yang baik untuk ekstraksi adalah pelarut yang mempunyai daya melarutkan yang tinggi terhadap zat yang diekstraksi. Daya melarutkan yang tinggi ini berhubungan dengan kepolaran pelarut dan kepolaran senyawa yang diekstraksi. Terdapat kecenderungan kuat bagi senyawa polar larut dalam pelarut polar dan sebaliknya. Warna derajat putih Warna merupakan salah satu atribut penting untuk produk pangan. Warna / derajat putih diukur dengan pengamatan secara organoleptik dengan standar warna putih BaSO4 = 100 %. Berdasarkan hasil pengamatan, warna pada pati ubi jalar ekstraksi cara kering dan ekstraksi cara basah memiliki warna yang berbeda, pada ekstraksi cara kering pati berwarna orange-krem sedangkan pada ekstraksi cara basah pati berwarna krem. Berikutnya pada pati pregelatinisasi ubi jalar berwarna coklat dan pada pati modifikasi pra masak berwarna kuning. Berdasarkan hasil pengamatan, pati singkong termasuk pati yang memiliki standar warna putih karena warna yang dihasilkan pada ekstraksi cara kering maupun cara basah yaitu berwarna putih ++. Lalu pada pati pregelatinisasi berwarna putih – krem sedangkan pada pati modifikasi pra masak berwarna kuning. Balagopalan et al., 1988 menyatakan bahwa pati alami yang memiliki swelling power tinggi dan kecenderungan retrogradasinya rendah memiliki kejernihan yang lebih tinggi. Suspensi pati alami dalam air berwarna buram opaque, namun proses gelatinisasi pada granula pati dapat meningkatkan transparansi larutan tersebut. Pati dengan warna buram dapat digunakan untuk produk sejenis salad dressing. Disamping itu kejernihan dipengaruhi oleh kandungan ISSP insoluble starch particles dalam pati Stoddard, 1999. ISSP ialah partikel-partikel pati yang tersusun atas sejumlah besar amilosa yang saling bergandengan membentuk rantai lurus. Menurut Meyer 1960 dan Mulyandari 1992, derajat putih sangat dipengaruhi oleh proses ekstraksi pati. Semakin murni proses ekstraksi pati, maka tepung yang dihasilkan akan semakin putih. Jika proses ekstraksi pati dilakukan dengan baik maka semakin banyak komponen pengotor yang hilang bersama air pada saat pencucian pati. Aroma Aroma yang dihasilkan dari setiap pati singkong dan pati ubi jalar dengan ekstraksi cara kering maupun cara basah, pati pregelatinisasi serta pati modifikasi pra masak dapat disimpulkan memiliki aroma yang sama yaitu aroma khas tepung / aroma singkong atau aroma ubi jalar. Ini disebabkan karena singkong dan ubi jalar yang sudah di ekstraksi secara pengulangan dan proses pengeringan sehingga aroma singkong dan ubi jalar sudah menghilang banyak sedangkan aroma patinya semakin kuat karena sudah di buat dalam bentuk tepung atau di ambil patinya saja. Tekstur mesh Kehalusan diukur dengan menggunakan ayakan. Ayakan bekerja dengan menggunakan beberapa susunan ayakan atau saringan, ayakan yang digunakan berjumlah tiga buah yang disusun, lalu dipaling bawah diberi wadah untuk menampung sisa sampel. Ayakan yang digunakan yaitu ayakan dan 150mm. Pengukuran dilakukan dengan menimbang sejumlah sampel lalu ditaburkan secara merata pada ayakan paling atas, kemudian ayakan ditutup. Berdasarkan pengamatan, kehalusan pati singkong dan pati ubi jalar cara kering dan cara basah, pati pregelatinisasi serta pati modifikasi pra masak berbeda nyata pada taraf signifikansi, baik pada penyaringan dengan menggunakan ayakan maupun Bentuk / Struktur Granula Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Winarno 2002, menyatakan bahwa granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam putih. Sifat inilah yang disebut birefringent. Pada saat granula mulai pecah, sifat birefringent ini akan menghilang. Untuk mengamati bentuk / struktur granula yaitu sejumlah sampel ditambahkan dengan aquades kemudian diteteskan dalam gelas objek dan ditutup dengan kaca penutup. Sampel diamati dibawah lensa mikroskop kemudian difoto dengan menggunakan kamera Olympus yang telah terpasang pada mikroskop. Berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi, dapat dilihat bahwa bentuk / struktur granula dari keseluruhan pati yaitu ekstraksi cara kering dan cara basah, pati pregelatinisasi serta pati modifikasi pra masak pada singkong dan ubi jalar tidak jauh berbeda bentuk patinya untuk setiap sampel. Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda tergantung dari sumbernya. Menurut Moorthy 2004, ukuran granula pati singkong dan pati ubi jalar menunjukan variasi yang besar yaitu sekitar 540 μm dengan bentuk bulat dan oval. Variasi tersebut dipengaruhi oleh varietas tanaman singkong dan periode pertumbuhan pada musim yang berbeda. Pomeranz 1991 menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi granula pati dapat mengembang dalam air panas. Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan pembengkakan granula pati. Pembengkakan granula pati menyebabkan terjadinya penekanan antara granula pati dengan lainnya. Mula-mula pembengkakan granula pati bersifat reversible dapat kembali ke bentuk awal, tetapi ketika suhu tertentu sudah terlewati, pembengkakan granula pati menjadi irreversible tidak dapat kembali. Kondisi pembengkakan granula pati yang bersifat irreversible ini disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu terjadinya peristiwa ini disebut dengan suhu gelatinisasi. Swelling Power Daya kembang pati atau swelling power didefinisikan sebagai pertambahan volume dan berat maksimum yang dialami pati dalam air Balagopalan et al., 1988. Swelling power dan kelarutan terjadi karena adanya ikatan non-kovalen antara molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% Winarno, 2002. Ketika granula pati dipanaskan dalam air, granula pati mulai mengembang swelling. Faktor-faktor seperti rasio amilosa-amilopektin, distribusi berat molekul dan panjang rantai, serta derajat percabangan dan konformasinya menentukan swelling power dan kelarutan Moorthy, 2004. Semakin besar sweeling power berarti semakin banyak air yang diserap selama pemasakan, hal ini tentu saja berkaitan dengan kandungan amilosa dan amilopektin yang terkandung dalam tepung. Semakin tinggi kadar amilosa maka nilai pengembangan volume akan semakin tinggi. Hal itu karena dengan kadar amilosa yang tinggi maka akan menyerap air lebih banyak sehingga pengembangan volume juga semakin besar Murillo, 2008. Sifat swelling pada pati sangat tergantung pada kekuatan dan sifat alami antar molekul di dalam granula pati, yang juga tergantung pada sifat alami dan kekuatan daya ikat granula. Berbagai faktor yang menentukan daya ikat tersebut adalah 1 perbandingan amilosa dan amilopektin, 2 bobot molekul dari fraksi-fraksi tersebut, 3 distribusi bobot molekul, 4 derajat percabangan, 5 panjang dari cabang molekul amilopektin terluar yang berperan dalam kumpulan ikatan Leach, 1959. Berdasarkan hasil perhitungan swelling power yang diperoleh dari ekstraksi cara kering dan cara basah pati, pati pregelatinisasi, pati modifikasi pra masak terhadap pati ubi jalar diketahui bahwa nilai tertinggi terdapat pada ekstraksi basah dengan nilai 2042,87%, sedangkan nilai terendah terdapat pada ekstraksi kering yaitu 789,07%. Berikutnya nilai yang diperoleh pada pati pregelatinisasi ubi jalar yaitu 1652,8672% dan nilai yang diperoleh pada pati modifikasi pra masak ubi jalar yaitu 1601,43%. Secara umum, swelling power akan meningkat dengan bertambahnya suhu pengukuran. Namun, peningkatan swelling power berbeda untuk masing-masing sampel. Perbedaan nilai swelling power dapat terjadi karena adanya perbedaan kadar amilosa dan amilopektin. Charles et al. 2005 melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa yang berbeda akan memiliki sifat fungsional yang berbeda, antara lain swelling power dan kelarutan. Sasaki dan Matsuki 1998 dalam Li dan Yeh 2001 melaporkan bahwa proporsi yang tinggi pada rantai cabang amilopektin berkontribusi dalam peningkatan nilai swelling. Sasaki dan Matsuki 1998 dalam Li dan Yeh 2001 juga melaporkan bahwa terdapat korelasi negatif antara swelling power dengan kadar amilosa. Hal ini terjadi karena amilosa dapat membentuk kompleks dengan lipida dalam pati, sehingga dapat menghambat swelling. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain perbandingan amilosa-amilopektin, panjang rantai dan distribusi berat molekul. Sifatsifat psikokimia dan rheologi tepung termodifikasi seperti swelling power, kelarutan, gugus karbonil dan gugus karboksil memiliki standard tertentu. Menurut Pomeranz 1991, kelarutan pati semakin tinggi dengan meningkatnya suhu, serta kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk tiap pati. Pola kelarutan pati dapat diketahui dengan cara mengukur berat supernatan yang telah dikeringkan dari hasil pengukuran swelling power. Ketika pati dipanaskan dalam air, sebagian molekul amilosa akan keluar dari granula pati dan larut dalam air. Persentase pati yang larut dalam air ini dapat diukur dengan mengeringkan supernatan yang dihasilkan saat pengukuran swelling power. Menurut Fleche 1985, ketika molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari granula pati. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa. Sumber Amin, Nur Azizah. 2013. Pengaruh Suhu Fosforilasi Terhadap Sifat Fisikokimia Pati Tapioka Termodifikasi. Universitas Hasanuddin, Makassar. Anonim, 2011. Amilum. Makassar. Ariansyah, Fitra., Amran Laga., dan Meta Mahendradatta. 2011. Studi Ekstraksi Pati Berdasarkan Ketinggian Batang Pohon Kelapa Sawit. Universitas Hasanuddin, Makassar. Honestin, Trifena. 2007. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Jalar. IPB, Bogor. Mulyandari, 1992. Kajian Perbandingan Sifat-Sifat Pati Umbi-Umbian dan Pati Biji-Bijian. Skripsi. IPB, Bogor. Rahman, Adie Muhammad. 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia Dan Fisik Tepung Tapioka Dan Mocal Modified Cassava Flour Sebagai Penyalut Kacang Pada Produk Kacang Salut. IPB, Bogor. Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Nama Yanni Handayani NIM 1306681 Pada praktikum kali ini dilakukan ekstraksi pati dari ubi jalar dengan cara ekstraksi basah dan ekstraksi kering. Pati merupakan cadangan bahan bakar pada tanaman yang disimpan atau ditimbun pada berbagai jaringan penimbun, baik umbi akar, umbi rambat, umbi rimpang, empelur batang, daging buah maupun endosperm biji. Pati disimpan dalam bentuk granula yang kenampakan dan ukurannya seragam serta khas untuk tiap spesies tanaman. Pati disebut juga amilum yang merupakan homopolimer D-glukosa dengan ikatan α-glikosidik, yang terdiri dari fraksi amilosa yang mempunyai struktur lurus dengan ikatan α- yang larut dalam air panas dan fraksi amilopektin yang tidak larut dengan air panas. Sifat pati sangat ditentukan oleh panjang rantai C-nya serta lurus atau bercabang rantai molekulnya. Amilosa dan amilopektin dalam pati selalu terdapat bersama-sama dalam granula. Granula pati bersifat higroskopis, dan diikuti peningkatan diameter granula. Granula pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda dan letak hilum yang unik Muchtadi, D dan Sugiyono 1992. Proses Ekstraksi Pati Proses ekstraksi yang dilakukan pada saat parktikum dibagi ke dalam dua cara yaitu ekstraksi pati secara kering dan ekstraksi pati secara basah. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan proses ekstraksi pati terhadap hasil rendemen pati dan karakteristik fisik pati yang dihasilkan. Perbedaan mendasar pada kedua cara ekstraksi pati ini yaitu pada ekstraksi pati secara kering ubi jalar yang digunakan sebagai sampel dibuat menjadi tepung terlebih dahulu baru kemudian direndam dalam air untuk proses ekstraksi patinya. Sedangkan pada ekstraksi pati cara basah, ubi jalar setelah melalui proses pengecilan ukuran dan pencucian langsung direndam dalam air untuk mengendapkan patinya. Setelah diperoleh endapan pati dari kedua cara ekstraksi tersebut, pati kemudian dikeringkan dan diamati karakteristik fisiknya. Pada dasarnya pengolahan pati sangat mudah. Caranya bahan yang berpati tersebut cukup dihancurkan atau digiling dengan penambahan air, direndam dengan sulfit untuk mempertahankan kualitas warna. Bubur bahan disaring dengan kain saring sehingga pati lolos dari saringan sebagai suspensi pati, dan serat tertinggal pada kain saring. Suspensi pati ini ditampung pada wadah pengendapan. Filtrat diendapkan sebagai pasta, dipisahkan airnya yaitu cairan di atas endapan dibuang, dikeringkan sampai kadar air dibawah 14%, dan terakhir digiling atau dibubukan sampai halus. Untuk keseragaman ukuran, bahan diayak dengan ayakan. Selanjutnya dikemas Febriyanti, 1990. Pada proses ekstraksi pati baik cara kering maupun cara basah untuk beberapa sampel umbi-umbian seperti gadung, suweg dan porang perlu dilakukan perlakuan pendahuluan terlebih dahulu yaitu perendaman umbi dalam larutan natrium bisulfit untuk mereduksi metabolit-metabolit sekunder seperti kalsium oksalat ataupun toksin seperti sianida, dan sebagainya. Pati Termodifikasi Modifikasi pati dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode fisika dan metode kimia. Metode fisika yang digunakan yaitu perlakuan pemanasan atau perlakuan suhu. Perlakuan tersebut mengakibatkan permukaan granula terbuka sehingga menyebabkan daya penetrasi lebih cepat dan pori– porinya lebih besar. Modifikasi pati secara kimia merupakan salah satu cara yang banyak digunakan misalnya dengan penambahan asam, oxidasi, starchesters, kationik, dan crosslinking. Pati termodifikasi adalah pati yang diberi perlakuan tertentu dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnnya atau untuk merubah beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini dapat mencakup penggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru dan atau perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati Heiman, 1980. Modifikasi pati yang dapat dilakukan baik secara fisik, kimia, biokimia maupun kombinasi ketiganya secara langsung akan mempengaruhi kharakteristik fisik maupun kimia dari pati termodifikasi yang akan dihasilkan. Pati yang telah termodifikasi akan mengalami perubahan sifat yang dapat disesuaikan untuk keperluan-keperluan tertentu. Sifat-sifat yang diinginkan adalah pati yang memiliki viskositas yang stabil pada suhu tinggi dan rendah, daya tahan terhadap sharing mekanis yang baik serta daya pengental yang tahan terhadap kondisi asam dan suhu sterilisasi. Pada praktikum kali ini, pati termodifikasi yang dibuat yaitu pati pregelatinisasi dan pati pra masak. Pati pregelatinisasi Pati preglatinisasi adalah pati dimana kondisinya belum pecah atau masih mengembang sehingga suhu pregelatinisasi ini lebih rendah daripada suhu gelatinisasi. Pati pregelatinisasi ini masih dapat mengalami retrogradasi sehingga dapat kembali ke keadaan semula. Kalau pati sudah tergelatinisasi, keadaan fisik pati sudah tidak dapat kembali ke keadaan semula. Modifikasi fisik merupakan perubahan karakteristik pati yang disebabkan perlakuan fisik, biasanya dikenal dengan pre-gelatinisasi. Alat yang umum digunakan dalam pre-gelatinisasi adalah spray dryer atau drum dryer sehingga dapat menghasilkan produk yang mudah larur dalam air dingin Winarno, 1980. Pati pregelatinisasi ini pada dasarnya dibuat dengan cara merusak granula pati dengan bantuan air dan pemanasan. Proses pembuatan pati pregelatinisasi pada prinsipnya adalah pati dibuat larutan suspensi, kemudian dipanaskan, lalu dikeringkan dan digiling, serta diayak. Pada praktikum kali ini, pati pregelatinisasi dibuat pada suhu yang dijaga antara 60-80oC. Mekanisme dari pre-gelatinisasi sama prinsipnya dengan gelatinisasi. Akan tetapi, pre-gelatinisasi tersebut menyebabkan pati yang telah mengalami gelatinisasi terhidrasi. Sifat inilah yang menyebabkan pati pre-gelatinisasi dapat larut dalam air dingin. Pregelatinisasi adalah pati yang telah dikeringkan untuk merusak struktur granula Rogol, 1986. Teknik modifikasi pati pregelatinisasi prinsipnya cukup sederhana yakni dengan cara memasak pati di dalam air sehingga tergelatinisasi sempurna, kemudian mengeringkannya dengan menggunakan rol-rol drum drying yang dipanaskan. Pada proses ini terjadi kerusakan butir pati tetapi amilosa dan amilopektinnya tidak terdegradasi. Pati pregelatinisasi mempunyai kemampuan menyerap air yang lebih tinggi daripada pati biasa dan mudah larut dalam air dingin cold water soluble serta cepat membentuk pasta dalam air dingin. Viskositasnya juga lebih rendah dibanding pati yang tidak di pregeltinisasi. Sifat fungsional pati pregel ini sangat dipengaruhi oleh kondisi pengeringan. Tingkat dan teknik modifikasi serta metode pengeringan merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya keragaman sifat fungsional pati pregelatinisasi. Rendemen pati Rendemen merupakan persentase dari hasil berat pati yang diperoleh dengan berat bahan baku umbi segar. Dari data praktikum ekstraksi pati ubi jalar diperoleh bahwa rendemen ubi jalar pada ekstraksi basah lebih tinggi dibanding pati ubi jalar pada ekstraksi kering, yaitu 4,38 % dan 3,15%. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi rendemen antara lain mutu bahan baku kondisi tanaman, umur panen, penanganan pascapanen pengeringan dan penyimpanan dan proses ekstraksi, penyaringan, pengeringan dan penggilingan. Perbedaan varietas ternyata berpengaruh terhadap rendemen tepung dan pati yang dihasilkan. Hal ini diduga disebabkan faktor genetik tanaman. Greenwood 1970 menyatakan bahwa keberadaan amilosa dalam pati mungkin bervariasi yang disebabkan oleh faktor genetik. Dengan demikian variasi kadar amilosa dari pati yang dihasilkan diperkirakan dipengaruhi varietas. Pemanenan ubi jalar yang tepat akan menghasilkan pati dengan kualitas yang baik dan rendemen yang tinggi. Menurut Asnawi 2003 dalam Nurdjanah 2007, waktu panen yang terlalu cepat akan merugikan karena kandungan kadar pati ubi jalar masih rendah menyebabkan kualitas ubi jalar menjadi kurang baik. Ubi jalar merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang diduga juga mempunyai pola hubungan antara tingkat ketuaan, kekerasan dan kandungan pati. Hal ini sesuai dengan Abbot dan Harker 2001 dan Wills et al.2005 dalam Nurdjanah 2007, yang menyatakan bahwa pada umumnya dengan bertambahnya tingkat ketuaan umbi-umbian akan semakin keras teksturnya karena kandungan pati yang semakin meningkat, akan tetapi apabila terlalu tua kandungan seratnya bertambah sedang kandungan pati menurun. Waktu panen ubi jalar bervariasi tergantung varietas dan kegunaannya. Jika waktu panen terlalu tua, ubi jalar mengeras karena banyak mengandung komponen komponen non-pati seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Bentuk/Struktur Granula Pati Kondisi mikroskopis granula pati merupakan deskripsi kondisi granula pati melalui pengamatan menggunakan mikroskop polarisasi. Menurut Muchtadi et al. 1988 dalam Hidayat 2009, melalui pengamatan kondisi granula pati dapat diketahui apakah granula pati telah mengalami proses pengembangan/ pembengkakkan, atau kah amilosa telah mengalami proses difusi dan keluar dari granula pati amylose leaching, hingga seluruh molekul amilosa telah keluar dari granula pati seluruhnya dan terperangkap dalam matriks amilopektin pati telah tergelatinisasi sempurna. Hasil pengujian kondisi mikroskopis granula pati, menunjukkan bahwa pati ubi jalar dengan hasil ekstraksi berbeda dengan hasil pati termodifikasi pra gelatinisasi. Pada pati hasil pra gelatinisasi granula pati telah mengalami proses pengembangan/ pembengkakan. Menurut Winarno 1992 dalam Hidayat 2009, proses gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati yang bersifat irreversible yang sangat tergantung pada kondisi kandungan air bahan dan adanya panas. Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Bentuk dan ukuran granula pati merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu digunakan untuk identifikasi. Pati memiliki bentuk granula yang berbeda untuk setiap tumbuhan. Granula pati dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya. Menurut Holleman dan Aten, A. 1956, granula pati tepung ubi jalar memiliki bentuk poligonal, bulat, hingga lonjong dengan ukuran granula tidak seragam. Gambar 1 Pati ubi jalar ekstraksi kering Gambar 2 Pati ubi jalar ekstraksi basah Gambar 3 Pati ubi jalar termodifikasi pregelatinisasi Gambar 4 Pati ubi jalar termodifikasi pra masak Berdasarkan gambar diatas yaitu pengamatan struktur granula pati ubi jalar yang diamati dengan menggunakan mikroskop pada pembesaran tertentu diketahui bahwa bentuk struktur granula pati yaitu bulat dengan ukuran tak seragam, maka hal ini sesuai dengan teori di atas. Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula yang berbedabeda. Proses dasar pembuatan semua jenis pati adalah sama, yaitu penghancuran sel-sel untuk memisahkan butiran-butiran pati dari komponen-komponen lainnya dengan pertolongan air untuk mengekstraknya Winarno, 1985. Menurut Greenwood 1970, pati merupakan butir atau granula yang berwarna putih, mengkilat, tidak mempunyai bau dan rasa. Granula pati dibentuk dari lapisan tipis yang merupakan susunan melingkar dari molekul-molekul pati, lapisan-lapisan tersebut tersusun secara terpusat. Granula tiap-tiap jenis pati berbeda dalam bentuk dan ukurannya, sehingga dapat digunakan untuk menentukan sumbernya. Bentuk Granula Pati Termodifikasi Proses gelatinasi adalah proses pembentukan gel akibat adanya penambahan air dan pemanasan pada suhu yang sesuai, menyebabkan granulgranul amilum mengembang lalu pecah menjadi susunan yang bergerombol. Semakin tinggi suhu pemanasan dan penambahan air maka akan semakin sempurna proses gelatinasi, ditandai dengan semakin banyaknya granul-granul yang bergerombol Kurniadi, 2010. Susunan yang bergerombol ini menghasilkan amilum dengan ukuran partikel berbentuk granul. Pada pati pregelatinisasi memiliki bentuk yang lebih besar akibat terjadinya pengembangan karena absorbsi air yang dilakukan oleh pati. Bentuk granula pati termodifikasi lebih besar dengan bentuk yang tidak seragam. Distribusi ukuran granula pati berpengaruh terhadap kekuatan pembengkakan pati. Ukuran granula pati yang kecil, maka kekuatan pembengkakannya juga kecil. Smith 1982 menambahkan bahwa Pada struktur granula pati, amilosa dan amilopektin tersusun dalam suatu cincin-cincin. Jumlah cincin dalam suatu granula kurang lebih berjumlah 16, dimana sebagian berbentuk lapisan amorf dan sebagian berbentuk lapisan semikristal. Amilosa dan amilopektin di dalam granula pati dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Apabila granula pati dipanaskan di dalam air, maka energy panas akan menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah. Karena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air sangatlah besar pula. Terjadi peningkatan viskositas disebabkan air yang dulunya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspense dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak bebas lagi. Ukuran granula interaksiamilosa-lipid, terutama berpengaruh pada profil gelatinisasi, kelarutan dan swelling volume serta kemudahan didegradasi oleh enzim. Semakin besar ukuran granula menyebabkan granula bersifat lebih kristalin, lebih sedikit membentuk kompleks dengan lemak, lebih sedikit larut dan mengembang serta lebih lambat didegradasi enzim Lindeboom et al., 2004. Warna Warna adalah salah satu karakteristik fisik pati yang penting. Warna ekstrak pati ubi jalar yang diharapkan yaitu berwarna putih. Namun, hasil ekstraksi pati ubi jalar diperoleh warna pati ekstraksi basah dan kering krem, untuk pati pre gelatinisasi berwarna coklat, dan pati pra masak termodifikasi berwarna warna pati dipengaruhi oleh proses pembuatan pati, seperti proses pemanasan atau pengeringan. Pemanasan menurunkan tingkat kecerahan pati. Penurunan kecerahan meningkat dengan meningkatnya intensitas panas yang diterima selama proses pengeringan. Selain itu warna dasar dari ubi jalar yang diekstrak patinya juga akan mempengaruhi warna pati yang dihasilkan. Warna ubi jalar yang digunakan sebagai sampel yaitu ubi jalar putih dan ubi jalar kuning. Sehingga pada pati pra masak termodifikasi yang dihasilkan berwarna putih. Sedangkan warna krem pati yang dihasilkan dipengaruhi oleh lamanya proses pengeringan atau suhu yang digunakan selama proses pengeringan. Pengujian karakteristik warna dilakukan karena warna pati ubi jalar yang digunakan sebagai bahan baku pada pengolahan aneka produk pangan akan sangat mempengaruhi penampakan produk akhir yang dihasilkan. Perbedaan warna pati yang dihasilkan diduga berkaitan dengan lamanya prose pengeringan pada saat perolehan pati dari ubi jalar. Waktu pengeringan yang lebih singkat akan meminimalisasi terbentuknya warna coklat akibat proses pencoklatan oksidatif. Aroma Aroma juga merupakan salah satu karakteristik fisik yang penting. Aroma pati akan dipengaruhi oleh komposisi kimia yang terkandung dalam ubi jalar. Berdasarkan hasil praktikum diperoleh pati yang beraroma ubi. Seharusnya pati yang dihasilkan tidak beroma, namun komposisi kimia ubi jalar yang menjadikan pati ubi jalar yang dihasilkan beraroma ubi. Aroma pati ubi jalar dapat berkurang dipengaruhi oleh proses perolehan pati. Proses pemanasan/ pengeringan pada saat ekstraksi pati mungkin bisa menguapkan atau mereduksi senyawa-senyawa kimia penghasil aroma pada pati yang dihasilkan. Tekstur Uji makroskopik dilakukan untuk mengetahui ukuran pati ubi jalar yang dihasilkan. Uji ini menggunakan bantuan ayakan bertingkat dengan mesh no. 60, 80, dan 100. Pati hasil ekstraksi basah basah dan kering memiliki tingkat kehalusan 80 mesh, pati ubi jlaar pra masak memiliki kehalusan 100 mesh, sedangkan pati ubi jalar ore gelatinisasi memiliki kehalusan 60 mesh. Hal ini sesuai pada Farmakope Indonesia IV 1995 yang menyatakan bahwa pati alami berbentuk serbuk sangat halus. Semakin besarnya ukuran pati pregelatin disebabkan karena proses gelatinasi yang terjadi. Proses gelatinasi mengakibatkan granul-granul pati pecah dan berubah menjadi susunan yang bergerombol Kurniadi, 2010 dalam Karisma. Swelling Power Swelling power merupakan sifat fungsional yang dimiliki oleh suatau bahan terutama tepung atau pati. Swelling power dapat mencirikan daya kembang suatu bahan, dalam hal ini adalah kekuatan tepung atau pati untuk mengembang. nilai swelling power diperoleh dari perbandingan antara berat sedimen pasta pati supernatant dengan berat kering tepung yang dapat membentuk pasta. Hasil uji swelling power pada pati ubi jalar yang diperoleh dengan cara ekstraksi kering yaitu 789,07%, ekstraksi basah yaitu 2042,87%, pati termodifikasi pregelatinisasi yaitu 1652,87%, dan pati modifikasi pra masak yaitu 1601,43%. Diketahui bahwa nilai swelling power tertinggi diperoleh dari pati hasil ekstraksi basah, sedangkan nilai swelling power terendah diperoleh dari pati hasil ekstraksi kering. Swelling power yang tinggi berarti semakin tinggi pula kemampuan pati mengembang dalam air. Nilai swelling power perlu diketahui untuk memperkirakan ukuran atau volume wadah yang digunakan dalam proses produksi sehingga jika pati mengalami swelling, wadah yang digunakan masih bisa menampung pati tersebut. Sifat swelling pada pati sangat tergantung pada kekuatan dan sifat alami antar molekul di dalam granula pati, yang juga tergantung pada sifat alami dan kekuatan daya ikat granula. Dari sini terlihat bahwa kemampuan mengembang produk pati termodifikasi berkurang karena perlakuan yang dilakukan dan pati alami lebih sulit mengembang. Hal ini tidak sesuai karena hasil yang didapat seharusnya pati alami memiliki swelling power yang tertinggi karena masih banyak ikatan bercabang dalam pati alami yang dapat mengikat gugus hidroksil lebih banyak. Sedangkan untuk pati termodifikasi seharusnya swelling powernya berkurang karena ikatan cabang dalam produk ini telah berkurang akibat perlakuan dalam proses produksinya. Menurut Leach 1965 di dalam Sunarti et al. 2007 berbagai faktor yang menentukan daya ikat tersebut adalah 1. Perbandingan amilosa dan amilopektin. 2. Bobot molekul dari fraksi-fraksi tersebut. 3. Distribusi bobot molekul. 4. Derajat percabangan. 5. Panjang dari cabang molekul amilopektin terluar yang berperan dalam kumpulan ikatan. Kecenderungan penurunan swelling power, hal ini dikarenakan semakin lama perendaman diduga menyebabkan kemampuan mengikat air semakin rendah, hal ini disebabkan karena semakin banyak pengikatan fosfat oleh molekul amilosa/amilopektin yang semakin menyebabkan pembengkakan menjadi terbatas. Menurunnya nilai swelling power dikarenakan meningkatnya kristalin pati setelah modifikasi sehingga membatasi air yang masuk ke dalam pati dan membuat pati menjadi lebih terbatas saat membengkak. Swelling power dipengaruhi oleh kemampuan molekul pati untuk mengikat air melalui pembentukan ikatan hidrogen. Setelah gelatinisasi ikatan hidrogen antara molekul pati terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Sehingga pati dalam tergelatinisasi dan granula-granula pati mengembang secara maksimal. Proses mengembangnya granula pati ini disebabkan karena banyaknya air yang terserap kedalam tiap granula pati dan granula pati yang mengembang tersebut mengakibatkan swelling power menjadi meningkat. Sumber Febriyanti, T. 1990. Studi Karakteristik Fisik, Kimia, dan Fungsional Beberapa Varietas Tepung Singkong. Skripsi. IPB, Bogor. Greenwood, C. T. 1970. Starch and Glycogen. Di dalam The Carbohydrates Chemistry and Biochemistry. Academic Press, New York. Heiman, W. 1980. Fundamental of Chemistry. Avi Publisher. Co, Westerfort. Hidayat, Beni., Nurbani Kalsum., dan Surfiana. 2009. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian Karakterisasi Tepung Ubi Kayu Modifikasi yang Diproses Menggunakan Metode Pragelatinisasi Parsial. Volume 14, No 2. Jurusan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri, Lampung. Karisma Sari, Kadek Lenny., Jemmy Anton Prasetia, dan Cok. Istri Sri Arisanti. Pengaruh Rasio AmilumAir Dan Suhu Pemanasan Terhadap Sifat Fisik Amilum Singkong Pregelatin Yang Ditujukan Sebagai Eksipien Tablet. Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana. Lindeboom et al.. 2004. Analytical, biochemical, and physicochemical aspect of starch granule size with emphasis on small granulastarches A Review. Starch/starke. 5689-99. Muchtadi, D. dan Sugiyono 1992. Ilmu dan Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi, D., Palupi, & Astawan, M. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Bogor PAU Pangan dan Gizi IPB. Nurdjanah, Siti., Susilawati, dan Maya Ratna Sabatini. 2007. Jurnal Teknologi dan Industri Hasil Pertanian Prediksi Kadar Pati Ubi Kayu Manihot Esculenta Pada Berbagai Umur Panen Menggunakan Penetrometer. Volume 12, Retnaningtyas, Dyah Ayu., dan Widya Dwi Rukmi Putri. 2014. Jurnal Pangan dan Agroindustri Karakterisasi Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar Oranye Hasil Modifikasi Perlakuan STPP Lama Perendaman Dan Konsentrasi. Vol. 2 No 4 Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas Brawijaya Malang. Rogol, S. 1986. Pati Termodifikasi Pregelatinisasi. Jakarta PT. Gramedia PustakaUtama. Smith, P. S. 1982. Starch Derivatives and Their Use in Foods. Di dalam Lineback, D. R. dan Inglett, G. E. eds.. Food Carbohydrates. The AVI Publishing Company Inc., Westport, Connecticut. Sunarti, N. Richana., F. Kasim., Purwoko, A. Budiyanto., 2007. Karakterisasi Sifat Fisiko Kimia Tepung dan Pati Jagung Varietas Unggul Nasional dan Sifat Penerimaannya terhadap Enzim dan Asam. Departemen Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Bogor. Winarno, 1980. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta. Winarno, Enzim Pangan. Gramedia, Jakarta. BAB V PENUTUP Kesimpulan Nama Amalia Dwi Lestari NIM 1301107 Dalam pembuatan ekstraksi pati dilakukan pretreatment terlebih dahulu pada beberapa jenis umbi-umbian untuk menghilangkan kandungan racunnya. Kemudian adanya perluasan ukuran untuk memudahkan proses ekstraksi selanjutnya. Pati adapula yang dimodifikasi dengan tujuan untuk memudahkan pelarutan dalam air dingin dan memudahkan untuk proses pengolahan selanjutnya. Nama Isnaeni Apriliani NIM 1305572 1. Rendemen ekstraksi pati alami cara basah memiliki rendemen paling besar dibandingkan dengan rendemen ekstraksi pati cara kering. Persentase rendemen pati cara basah yaitu sebesar 4,3769% sedangkan persentase rendemen pati cara kering yaitu sebesar 3,15%. Hal tersebut menunjukan adanya perubahan selama proses pengolahan yang terjadi pada kedua perlakuan tersebut. Perbedaan rendemen yang diperoleh tersebut dipengaruhi oleh jenis perlakuan yang diberikan. 2. Warna pati dengan perlakuan cara basah menunjukan warna krem, hal tersebut dapat terjadi akibat dari adanya perendaman dalam proses pengolahannya sehingga mempengaruhi warna yang dihasilkan oleh produk. Warna pati yang dihasilkan akan cenderung memudar, hal ini disebabkan oleh karena semakin lama perendaman semakin banyak komponen penimbul warna atau pigmen dalam hal ini karoten yang terbuang. 3. Ekstraksi pati alami cara basah aroma pati yang tercium cenderung memiliki aroma seperti tepung sedangkan aroma pati yang dihasilkan dari ekstraksi pati alami cara kering cenderung memiliki aroma seperti ubi. 4. Pati ubi jalar yang dihasilkan dari kedua jenis perlakuan tersebut memiliki tingkat kehalusan yang sama yaitu dengan ukuran ayakan 80 mesh. 5. Nilai swelling power pati pra masak adalah 1601,43 sementara itu nilai swelling power pati pragelatinisasi adalah 1652,8672%. 6. Bentuk ukuran granula pati yang ditunjukan oleh pati dari kedua jenis perlakuan tersebut menunjukan bentuk dan ukuran granula pati yang sama yaitu berbentuk bulat tak beraturan. Hal yang membedakannya adalah kecerahan dan kejernihan penampakan yang terlihat dari penampang bentuk dan ukuran granula pati. 7. Rendemen pati pra gelatinisasi memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan rendemen pati pra masak. Persentase rendemen pati pragelatinisasi adalah 65,40% sedangkan presentase rendemen pati pra masak adalah 11,82%. 8. Pati pra masak menghasilkan warna kuning sementara pati pragelatinisasi menghasilkan warna coklat. Tentu saja hal tersebut dapat terjadi karena pengaruh dari perlakuan yang diberikan kepada masing-masing pati termodifikasi. 9. Kedua jenis pati termodifikasi tersebut memiliki aroma yang sama yaitu aroma ubi jalar atau tepung ubi jalar. 10. Pati pra masak cenderung lebih halus dibandingkan dengan pati pra gelatinisasi, hal ini dapat terjadi karena perbedaan penggunaan ukuran ayakan thyller pada proses pengayakan. 11. Nilai swelling power pati pra masak adalah 1601,43 sementara itu nilai swelling power pati pragelatinisasi adalah 1652,8672%. 12. bentuk dan ukuran granula pati pada kedua pati termodifikasi tersebut memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda, dimana bentuk dan ukuran granula pati pragelatinisasi memiliki bentuk yang tidak beraturan dan cenderung padat sedangkan pati pra masak memiliki bentuk oval tak beraturan dan cenderung memiliki ruang kosong antara molekul yang satu dengan molekul yang lainnya. Nama Juliana M Nur NIM 1306948 1. Dengan menggunakan cara basah pada saat proses ekstraksi dimungkinkan akan ada banyak pati yang lolos saat penyaringan dan kemungkinan ampas bahan bakunyapun ikut lolos. 2. Pati yang diperoleh dari ekstraksi umbi singkong ini akan memberikan warna putih jika diekstraksi secara benar. 3. Bahan baku yang sudah di ektraksi secara pengulangan dan proses pengeringan sehingga aroma bahan bakunya yang sudah menghilang sedangkan aroma patinya semakin kuat karena bahan baku sudah di buat dalam bentuk tepung atau di ambil patinya saja. 4. Semakin kecil ukuran mesh maka akan semakin halus pati yang lolos. 5. Karena penggunaan singkong dengan kadar amilosa yang tinggi maka akan menyerap air lebih banyak sehingga pengembangan volume juga semakin besar. 6. Proses pengeringan kembali pati yang tergelatinisasi memungkinkan senyawa-senyawa terlarut tersebut, seperti gula perduksi dan protein bereaksi menghasilkan pigmen berwarna coklat atau krem. 7. Proses pemanasan/ pengeringan pada saat ekstraksi pati mungkin bisa menguapkan atau mereduksi senyawa-senyawa kimia penghasil aroma pada pati yang dihasilkan. 8. Semakin besarnya ukuran pati pregelatin disebabkan karena proses gelatinasi yang terjadi. 9. Semakin tinggi suhu pemanasan dan penambahan air maka akan semakin sempurna proses gelatinasi, ditandai dengan semakin banyaknya granulgranul yang bergerombol 10. Bahan yang memiliki kadar amilosa yang tinggi maka akan menyerap air lebih banyak sehingga pengembangan volume juga semakin besar sehingga kadar swelling pun makin tinggi. Nama Mita Maharani Bahriah NIM 1305741 Rendemen pati yang dihasilkan dari dua metode yang berbeda menghasilkan rendemen yang berbeda, pada cara basah terdapat proses perebusan yang tentunya meningkatkan kadar air dalam bahan. Sedangkan rendemen pati modifikasi mengalami kebiasan data sehingga hasil yang diperoleh kurang akurat. Namun dalam derajat warna dan aroma modifikasi pati menurunkan ketajaman warna dan aroma sehingga menurunkan tingkat penerimaan. Hal ini terjadi karena adanya degradasi lanjutan pada proses modifikasi sehingga senyawa pigmen dan flavonoid menurun, yang tentunya menurunkan ketajaman aroma, sedangkan pada tepung yang pati pregelatinisasi ubi jalar, terjadi pencoklatan, yang diduga terjadi karena pencoklatan non enzimatis karena adanya pemanasan. Swelling power yang dihasilkan bervariasi, terendah dihasilkan dari ekstrak pati kering ubi jalar, sedangkan yang paling tinggi didapatkan dari pati pregelatinisasi ubi kayu. Nama Utari Nur Amalia NIM 1300751 1. Proses ekstraksi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap mutu rendemen pati yang dihasilkan. 2. Pati termodifikasi menghasilkan sifat yang lebih baik dari difat sebelumnya 3. Semakin kecil perbandingan pati dan air maka nilai swelling power dan nilai kelarutan semakin besar 4. Bentuk dan ukuran morfologi granlua pati dipengaruhi oleh jenis bahan dasar sehingga mempunyai bentuk dan ukuran yang spesifik 5. Faktor yang mempengaruhi proses modifikasi pati yaitu ukuran partikel, temperatur, waktu reaksi, dan perbandingan berat air terhadap pati. Nama Winni Trinita Maulandhiyani NIM 1304693 1. Perbedaan hasil persentase perhitungan rendemen kemungkinan karena ekstraksi dipengaruhi beberapa faktor yaitu ukuran bahan, suhu ekstraksi dan pelarut. 2. Warna / derajat putih sangat dipengaruhi oleh proses ekstraksi pati. Semakin murni proses ekstraksi pati, maka tepung yang dihasilkan akan semakin putih. 3. Aroma yang dihasilkan tetap khas tepung disebabkan karena singkong dan ubi jalar yang sudah di ekstraksi secara pengulangan dan proses pengeringan sehingga aroma singkong dan ubi jalar sudah menghilang banyak sedangkan aroma patinya semakin kuat karena sudah di buat dalam bentuk tepung atau di ambil patinya saja. 4. Kehalusan pati singkong dan pati ubi jalar cara kering dan cara basah, pati pregelatinisasi serta pati modifikasi pra masak berbeda nyata pada taraf signifikansi, baik pada penyaringan dengan menggunakan ayakan maupun 5. Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda tergantung dari sumbernya. Ukuran granula pati singkong dan pati ubi jalar menunjukan variasi yang besar yaitu sekitar 5-40 μm dengan bentuk bulat dan oval. Variasi tersebut dipengaruhi oleh varietas tanaman singkong dan periode pertumbuhan pada musim yang berbeda. 6. Faktor-faktor seperti rasio amilosa-amilopektin, distribusi berat molekul dan panjang rantai, serta derajat percabangan dan konformasinya menentukan swelling power dan kelarutan. Nama Yanni Handayani NIM 1306681 1. Nilai rendemen pati ubi jalar dan nilai uji swelling power pati ubi jalar yang dihasilkan dari ekstraksi pati cara kering berbeda dengan pati hasil ekstraksi basah. Rendemen pati ekstraksi basah dan uji swelling power nya lebih tinggi dibanding pati ekstraksi kering. 2. Dilakukan modifikasi pati yaitu pre gelatinisasi dan pra masak bertujuan untuk memperbaiki sifat atau karakteristik fisik pati ubi jalar yang dihasilkan. 3. Secara umum pati ubi jalar yang dihasilkan berwarna krem-kuning, pati beraroma ubi, dan memiliki tekstur atau kehalusan antara 60-100 mesh. 4. Bentuk struktur/granula pati alami hasil ekstraksi kering dan basah yaitu berukuran kecil, bulat, tidak beraturan. Sedangkan bentuk granula pati hasil pre gelatinisasi dan pra masak cenderung lebih besar dan bergerombol, akibat adanya sifat pati yang menyerap air. Saran 1. Untuk dapat menghasilkan pati dengan karakteristik dan kualitas yang baik, maka sebaiknya harus memperhatikan proses ekstraksi/pengambilan pati dari bahan, karena proses ekstraksi pati yang dilakukan merupakan faktor utama penentu kualitas pati yang dihasilkan. 2. Perlu diperhatikan prosedur kerja dalam ekstraksi pati alami cara basah maupun cara kering. 3. Perlu dilakukan analisis karakteristik pati lebih mendalam agar dapat diketahui kegunaan pati singkong dan ubi jalar dalam industri. 4. Perlu dilakukan analisis untuk mengetahui ketahanan pati termodifikasi pati pregelatinisasi dan tepung pra masak termodifikasi. DAFTAR PUSTAKA Amin, Nur Azizah. 2013. Pengaruh Suhu Fosforilasi Terhadap Sifat Fisikokimia Pati Tapioka Termodifikasi. Universitas Hasanuddin, Makassar. Anonim. Karbohidrat . [Online]. Tersedia di KyHUDPegGccp18c/edit?hl=en&pli=1 diakses pada April 2015 Hustiany, R. 2006. Modifikasi asilasi dan suksinilasi pati tapioka sebagai bahan enkapsulasi komponen flavor. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jacobson, and BeMiller. 1998. Method for Determining The Rate and Extent of Accelerated Starch Retrogradation. Cereal Chem 75 1 22-29 Koswara, S. 2006. Sukun Sebagai Cadangan Pangan Alternatif. http//www. Diakses tanggal 15 Desember 2008. Smith. 1982. Introduction to Fish Physiology. Publication Inc., England Swinkels, 1985. Source of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam Beynum dan Roels eds.. Starch Conversion Technology. Marcel Dekker, Inc., New York Winarno, FG. 1992. Kimia Pangan danGizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. LAMPIRAN Yanni Handayani - 1306681 Gambar bentuk struktur/granula pati Pati singkong ekstraksi kering kelompok 2 Bentuk granula Bulat tak beraturan Pati singkong ekstraksi basah kelompok 1 Bentuk granula Bulat tak beraturan Pati ubi jalar ekstraksi kering kelompok 6 Bentuk granula Bulat tak beraturan Pati ubi jalar ekstraksi basah kelompok 5 Bentuk granula Bulat tak beraturan Pati termodifikasi pregelatinisasi Singkong Pati termodifikasi pregelatinisasi Ubi jalar Pati pra masak modifikasi singkong Pati pra masak modifikasi ubi jalar
NamaNabila Rahmatina Rochadi. Kelas:8D. Absen:22. Komputasi Paralel merupakan salah satu teknologi paling menarik sejak ditemukannya komputer pada tahun 1940-an. Terobosan dalam pemorosesan parallel selalu berkembang dan mendapatkan tempat disamping teknologi-teknologi lainnya sejak Era Kebangkitan (1950-an), Era Mainframe (1960-an), Era Minis
Penanganan Pascapanen Jagung Firmansyah, M. Aqil, dan Yamin Sinuseng Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros PENDAHULUAN Penanganan pascapanen merupakan salah satu mata rantai penting dalam usahatani jagung. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa petani umumnya memanen jagung pada musim hujan dengan kondisi lingkungan yang lembab dan curah hujan yang masih tinggi. Hasil survei menunjukkan bahwa kadar air jagung yang dipanen pada musim hujan masih tinggi, berkisar antara 25-35%. Apabila tidak ditangani dengan baik, jagung berpeluang terinfeksi cendawan yang menghasilkan mikotoksin jenis aflatoksin Firmansyah et al. 2006. Adanya nilai tambah dari produk olahan jagung seperti minyak jagung dan produk olahan lainnya yang dilaporkan berdampak positif bagi kesehatan manusia menyebabkan bergesernya penggunaan biji jagung dari pemenuhan konsumsi ternak menjadi konsumsi manusia dan ternak. Perubahan pola konsumsi tersebut menuntut adanya perbaikan proses pascapanen jagung untuk menghasilkan biji yang aman dikonsumsi, baik oleh manusia maupun ternak. Hal ini mendasari dikeluarkannya UndangUndang No. 7 tahun 1996 tentang keamanan pangan. Beberapa negara seperti Cina, Malaysia, dan Singapura telah memberlakukan standar mutu yang sangat ketat untuk produk jagung Warintek 2007. Untuk itu diperlukan teknologi penanganan pascapanen jagung, terutama di tingkat petani, untuk menghasilkan produk yang lebih kompetitif dan mampu bersaing di pasar bebas. Proses pascapanen jagung terdiri atas serangkaian kegiatan yang dimulai dari pemetikan dan pengeringan tongkol, pemipilan tongkol, pengemasan biji, dan penyimpanan sebelum dijual ke pedagang pengumpul. Ke semua proses tersebut apabila tidak tertangani dengan baik akan menurunkan kualitas produk karena berubahnya warna biji akibat terinfeksi cendawan, jagung mengalami pembusukan, tercampur benda asing yang membahayakan kesehatan. Tulisan ini membahas penanganan pascapanen jagung yang meliputi pemanenan, penjemuran/pengeringan, pemipilan, pengemasan, penyimpanan, dan standardisasi mutu jagung. 364 Jagung Teknik Produksi dan Pengembangan PROSES PASCAPANEN Cakupan Kegiatan Proses pascapanen meliputi serangkaian kegiatan penanganan hasil panen, mulai dari pemanenan sampai menjadi produk yang siap dikonsumsi. Rangkaian kegiatan tersebut disajikan pada Gambar 1. Permasalahan Jagung mempunyai banyak permasalahan pascapanen yang apabila tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan kerusakan dan kehilangan. Permasalahan antara lain adalah Susut Kuantitas dan Mutu Kehilangan hasil jagung pada pascapanen dapat berupa kehilangan kuantitatif dan kualitatif. Kehilangan kuantitatif merupakan susut hasil akibat tertinggal di lapang waktu panen, tercecer saat pengangkutan, atau tidak terpipil. Kehilangan kualitatif merupakan penurunan mutu hasil akibat butir rusak, butir berkecambah, atau biji keriput selama proses pengeringan, pemipilan, pengangkutan atau penyimpanan. Keamanan Pangan Penundaan penanganan pascapanen jagung berpeluang meningkatkan infeksi cendawan. Penundaan pengeringan paling besar kontribusinya dalam meningkatkan infeksi cendawan Aspergillus flavus yang bisa mencapai di atas 50%. Cendawan tersebut menghasilkan mikotoksin jenis aflatoksin yang bersifat mutagen dan diduga dapat menyebabkan kanker esofagus pada manusia Weibe and Bjeldanes 1981. Toksin yang dikeluarkan oleh cendawan tersebut juga berbahaya bagi kesehatan ternak. Salah satu cara pencegahannya adalah mengetahui secara dini kandungan mikotoksin pada biji jagung. Ketersediaan Sarana Prosesing Permasalahan lain dalam penanganan pascapanen jagung di tingkat petani adalah tidak tersedianya sarana prosesing yang memadai, padahal petani umumnya memanen jagung pada musim hujan dengan kadar air biji di atas 35%. Oleh karena itu, diperlukan inovasi teknologi prosesing yang tepat, baik dari segi peralatan maupun sosial dan ekonomi. Firmansyah et al. Penanganan Pascapanen Jagung 365 Panen Aktivitas Penentuan waktu panen, pemungutan hasil, pengumpulan, pengangkutan Pengupasan Aktivitas Pelepasan kulit, pemisahan jagung yang baik dan yang rusak Pengeringan Aktivitas Angkut tongkol ke tempat pengeringan, pengeringan dan pemrosesan hasil pengeringan Pemipilan Aktivitas Memipil tongkol, memisahkan biji dari kotoran, memproses jagung pipilan kering Penyimpanan Aktivitas Menyimpan biji dalam ruang penyimpanan untuk mempertahankan mutu Pengangkutan Aktivitas Pengeringan biji dan pemindahan untuk proses selanjutnya Klasifikasi & standarisasi mutu Gambar 1. Kegiatan panen dan penanganan pascapanen jagung. 366 Jagung Teknik Produksi dan Pengembangan PEMANENAN Waktu panen menentukan mutu biji jagung. Pemanenan yang terlalu awal menyebabkan banyaknya butir muda sehingga kualitas dan daya simpan biji rendah. Sebaliknya, pemanenan yang terlambat menyebabkan penurunan kualitas dan peningkatan kehilangan hasil akibat cuaca yang tidak menguntungkan atau serangan hama dan penyakit di lapang. Jagung yang siap dipanen biasanya ditandai dengan daun dan batang tanaman mulai mengering dan berwarna kecoklatan. Selain itu, juga dapat diketahui dari adanya lapisan hitam pada pangkal biji jagung black layer. Apabila pada pangkal biji sudah ditumbuhi lebih dari 50% lapisan hitam, maka tanaman sudah masak fisiologis. Petani di sejumlah daerah memanen jagung setelah umur panen tercapai daun dan batang jagung telah berwarna coklat. Pemanenan jagung bergantung pada lokasi, jenis lahan, dan ketersediaan teknologi. Panen tongkol umum dilakukan petani pada lahan tadah hujan atau lahan kering. Perbedaannya, pada lahan kering, petani langsung memanen jagung bersama tongkolnya dengan kelobot relatif basah karena dipanen pada musim hujan. Kadar air biji pada kondisi tersebut berkisar antara 30-35% dan adakalanya mencapai 40%. Pemanenan tongkol pada lahan sawah tadah hujan, kadar air biji sudah agak rendah, yaitu 25-30%. Tongkol kemudian diangkut ke tempat pengumpulan untuk dianginanginkan beberapa saat, lalu dikupas, dan dikeringkan. Batang tanaman ditebang untuk dijadikan pakan atau tetap dibiarkan di lapang. Cara panen tongkol di lapang dilakukan oleh umumnya petani jagung di Sulawesi Selatan, baik pada lahan kering, lahan sawah tadah hujan maupun lahan sawah irigasi. Penebangan batang pada saat panen dilakukan dengan parang dan memerlukan waktu 155,5 jam/orang/ha atau 19,4 HOK dengan masa panen delapan jam/hari. Pengupasan kelobot dilakukan oleh tenaga wanita dengan waktu kerja 131,2 jam/orang/ha atau 16,4 HOK/ha. PENGERINGAN Pengeringan adalah upaya untuk menurunkan kadar air biji jagung agar aman disimpan. Kadar air biji yang aman untuk disimpan berkisar antara 12-14%. Pada saat jagung dikeringkan terjadi proses penguapan air pada biji karena adanya panas dari media pengering, sehingga uap air akan lepas dari permukaan biji jagung ke ruangan di sekeliling tempat pengering Brooker et al. 1974. Firmansyah et al. Penanganan Pascapanen Jagung 367 Pengeringan diperlukan sebelum pemipilan untuk menghindari terjadinya biji pecah. Untuk itu, kadar air biji harus diturunkan menjadi 30%. Cara pemipilan dengan tangan banyak dilakukan untuk penyediaan benih. Kerugian dari cara ini adalah memerlukan waktu yang lama dan membutuhkan banyak tenaga kerja, mencapai 9 HOK/ha. Cara lain yang banyak dilakukan petani untuk memipil jagung pada saat kadar air biji masih tinggi adalah dengan memasukkan jagung ke dalam kantung, kemudian didiamkan selama 24 jam, lalu jagung yang masih berada di dalam kantung tersebut dipukul-pukul. Cara pemipilan dengan bantuan alat sederhana ini menyebabkan banyak biji yang rusak, terutama pada saat kadar air biji masih tinggi. Firmansyah et al. Penanganan Pascapanen Jagung 377 Pemipilan dengan alat sederhana yang lain adalah menggunakan alat gosok berupa papan kayu yang dipasangi paku sebagai alat pencongkel biji jagung agar terlepas dari tongkolnya. Kapasitas kerja alat gosok berkisar antara 8-12,5 kg/jam/operator pada kondisi kadar air biji >25% dengan persentase biji rusak 6-9%. Alat pemipil jagung yang mudah dipindah-pindah mobile dengan tenaga gerak manusia Ramapil telah dikembangkan oleh Balitkabi. Menyerupai becak, silinder perontok biji digerakkan dengan cara mengayuh. Kapasitas kerja Ramapil 400-500 kg jagung tongkol/jam. Alat pemipil jagung rancang bangun Balitkabi terdiri atas tiga tipe, yaitu tipe dengan tenaga penggerak putar tangan, tipe dengan tenaga penggerak injak, dan tipe dengan tenaga penggerak kayuh pedal. Masing-masing alat mempunyai kapasitas kerja 191,9 kg/jam/orang laki-laki untuk tenaga gerak putar tangan, 114,9 kg/jam/orang wanita dengan tenaga gerak kayuh pedal. Pemipilan secara Mekanis Beberapa alat pemipil jagung bertenaga gerak enjin atau motor listrik telah dibuat oleh bengkel alat dan mesin pertanian di pedesaan, industri lokal, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi. Sebagian besar alat pemipil yang ada di pasar saat ini hanya cocok untuk pemipilan jagung dengan kadar air 5,0 cm adalah 1,1 t/jam. Untuk jagung tongkol berdiameter 25 cm masing-masing 1,3 t dan 0,8 t/jam. Efisiensi pemipilan SENAPIL mencapai 99,96% dengan tingkat kerusakan biji 6% pada kadar air 15,5% basis basah Tastra 1996. Balitsereal telah memodifikasi mesin pemipil model PJ-M1 yang dilengkapi dengan komponen pengayak Gambar 8. Komponen pengayak tersebut dimaksudkan untuk memisahkan biji jagung dengan serpihan tongkol. Hasil pengujian menunjukkan bahwa biji jagung yang dipipil dengan PJ-M1 telah memenuhi persyaratan SNI pada kadar air biji 15% saat pemipilan. Biaya pemipilan dengan mesin pemipil model PJ-M1 lebih murah Rp 25/kg dibanding mesin pemipil yang digunakan oleh umumnya petani Rp 30/kg. Tabel 6. Kinerja pemipil jagung model PJ-M1 Balitsereal. Alat Standar mutu SNI** pemipil Uraian Manual Kapasitas kerja 20 kg/jam/org Biaya pemipilan Rp 50/kg Kualitas pipilan • Biji pecah % • Biji tidak terpipil % • Kotoran % - Alsin di tingkat petani PJ-M1* M1 M2 M3 1 t/jam Rp 30/kg 1,4 t/jam Rp 25/kg - - - 3,7 4,2 6,5 0,2 0,1 0,2 1,0 1,0 2,0 1,0 3,0 2,0 * Saat dipipil kadar air biji 15% ** M1, M2, M3 = Mutu 1, Mutu 2, Mutu 3 Sumber Subandi et al. 2003 Firmansyah et al. Penanganan Pascapanen Jagung 379 Gambar 8. Alsin pemipil jagung model PJ-M1-Balitsereal Subandi et al. 2003. PENYIMPANAN Fasilitas penyimpanan sangat diperlukan di sentra produksi jagung yang letaknya jauh dari industri pakan dan pangan. Adanya fasilitas yang memadai akan membantu petani dalam mendapatkan penawaran harga yang lebih baik. Dalam proses penyimpanan, biji jagung masih mengalami proses pernafasan dan menghasilkan karbondioksida, uap air, dan panas Champ and Highley 1986. Apabila kondisi ruang simpan tidak terkontrol maka akan terjadi kenaikan konsentrasi air di udara sekitar tempat penyimpanan, sehingga memberikan kondisi ideal bagi pertumbuhan serangga dan cendawan perusak biji. Pengaruh negatif lanjutan dari kenaikan suhu dan konsentrasi uap jenuh udara adalah meningkatnya proses respirasi dengan akibat sampingan makin meningkatnya suhu udara di ruang penyimpanan, yang akan mempercepat proses degradasi biji. Penyimpanan jagung dapat berlangsung lama tanpa menurunkan kualitas biji apabila terjadi keseimbangan kondisi simpan antara kelembaban udara relatif lingkungan dengan kandungan air biji pada kondisi suhu tertentu. Penelitian menunjukkan bahwa pada suhu ruang simpan 28ºC, kelembaban udara nisbi 70%, dan kadar air 14%, biji jagung masih mempunyai daya tumbuh 92% setelah disimpan selama enam bulan, sedangkan pada suhu simpan 38ºC daya tumbuh benih menurun menjadi 81%. 380 Jagung Teknik Produksi dan Pengembangan Harga jagung umumnya rendah pada musim panen raya karena produksi yang berlebihan. Petani tidak dapat menunda penjualan jagungnya, karena tidak memiliki fasilitas penyimpanan yang memadai. Mereka umumnya menyimpan jagung dalam jumlah kecil, untuk keperluan benih dan konsumsi keluarga. Alat penyimpan berupa silo Gambar 9 dari kayu yang berlapis seng di dinding bagian dalamnya dengan kapasitas satu ton dapat menyimpan benih/biji jagung sampai delapan bulan dan terhindar dari serangan kumbang bubuk Sitophilus zeamays Tabel 7. Daya berkecambah benih masih di atas 80% setelah disimpan selama delapan bulan. Dengan menyimpan selama beberapa bulan saja, petani akan memperoleh tambahan pendapatan karena harga jagung biasanya meningkat beberapa bulan setelah panen raya. Sebelum disimpan, biji/benih sebaiknya dikemas terlebih dahulu dalam kantung plastik, kemudian baru disimpan dalam fasilitas penyimpan yang terbuat dari bahan kayu atau multiplek. Gambar 9. Alat penyimpanan biji/benih jagung yang terbuat dari kayu berlapis seng Baco et al. 2000. Firmansyah et al. Penanganan Pascapanen Jagung 381 Tabel 7. Populasi kumbang bubuk S. zeamays per 250 g biji jagung pada beberapa alat penyimpanan. Populasi S. zeamays ekor/250 g biji Alat simpan Silo kayu berlapis seng Silo asbes Jerigen plastik Karung jumbo plastik Cara petani tongkol berkelobot 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan 8 bulan 0 0 0 0 0 0,50 4 0 0 7,25 1 5,25 0 2,75 12 0 0,75 0 0 13,75 0 3,50 0 0 6 Sumber Baco et al. 2000 STANDAR NASIONAL INDONESIA SNI MUTU JAGUNG SNI telah menetapkan standar mutu untuk produk jagung, baik untuk pangan maupun pakan. Penetapan standar mutu jagung dilakukan berdasarkan berbagai kriteria seperti warna dengan ketentuan dan penggunaan sebagai berikut Wa r n a - Jagung kuning apabila sekurang-kurangnya 90% bijinya berwarna kuning - Jagung putih apabila sekurang-kurangnya 90% bijinya berwarna putih Penggunaan - B e n i h - Nonbenih Klasifikasi dan penentuan standar mutu jagung dibagi atas dua persyaratan yaitu persyaratan umum dan khusus Warintek 2007. Syarat umum standar mutu jagung • • • • Bebas dari hama penyakit Bebas bau busuk, asam, atau bau asing lainnya Bebas dari bahan kimia seperti insektisida dan fungisida Memiliki suhu normal Syarat khusus standar mutu jagung dapat dilihat pada Tabel 8. Beberapa negara, seperti Cina, Malaysia, dan Singapura telah menerapkan standar batas maksimum mikotoksin dalam biji jagung seperti disajikan pada Tabel 9. 382 Jagung Teknik Produksi dan Pengembangan Tabel 8. Syarat khusus mutu jagung menurut SNI. Mutu Parameter Kadar air maksimum % Butir rusak maksimum % Butir warna lain maksimum % Butir pecah maksimum % Kotoran maksimum % I II III IV 14 2 1 1 1 14 4 3 2 1 15 6 7 3 2 17 8 10 3 2 Sumber Warintek 2007 Tabel 9. Standar batas maksimum kandungan mikotoksin pada biji jagung di beberapa negara. Negara Batas Cina Malaysia Singapura Indonesia Sumber Darmaputra maksimum ppb mikotoksin 20 35 bahan pangan 5 2005 DAFTAR PUSTAKA Baco, D., M. Yasin, J. Tandiabang, S. Saenong, dan Lando. 2000. Penanggulangan kerusakan biji jagung oleh hama S. zeamays dengan berbagai alat/cara penyimpanan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 191-5. Brooker, Bakker., and Arkema. 1974. Drying cereal grains. The A VI Publishing Co. Inc, West Port. USA. Champ, and Highley. 1986. Technological change in postharvest handling and transportation of grains in humid tropics. The International Seminar, Bangkok, Thailand. 10-12 September 1986. Dharmaputra, O. S. 2005. Kontaminasi mikotoksin pada bahan pangan dan pakan di Indonesia. Makalah disampaikan pada Simposium Mikotoksin dan Mikotoksis. Jakarta, 30 Juli 2005. Dharmaputra, I. Retnowati, Purwadaria, and M. Sidik. 1996. Survey on postharvest handling, A. flavus infection, and aflatoxin contamination of maize colleted from farmers and traders. In Champ and E. Highley Eds.. Bulk handling and storage of grain in Firmansyah et al. Penanganan Pascapanen Jagung 383 the humid tropics. Proc. of an International Workshop held at Kuala Lumpur, Malaysia, 6-9 October 1987, p. 58-68. Firmansyah, S. Saenong, B. Abidin, Suarni, dan Y. Sinuseng. 2006. Proses pascapanen untuk menunjang perbaikan produk biji jagung berskala industri dan ekspor. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. p. 1-15. Firmansyah, S. Saenong, B. Abidin, Suarni, dan Y. Sinuseng. 2005. Proses pascapanen untuk menunjang perbaikan produk biji jagung berskala industri dan ekspor. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. p. 20-25. Firmansyah, S. Saenong, B. Abidin, Suarni, Y. Sinuseng, F. Koes, dan J. Tandiabang. 2004. Teknologi pascapanen primer jagung dan sorgum untuk pangan, pakan, benih yang bermutu dan kompetitif. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. p. 1-35. Handerson, and Perry. 1982. Agricultural process engineering. Third edition. The AVI Publishing Company Inc., Westport Connecticut. Lando, dan B. Prastowo. 1990. Penelitian penampilan perontok multikomoditi. Hasil Penelitian Mekanisasi dan Teknologi. 1093-101. Muda, I. Abas, Nour, and R. Abdullah. 1988. Sealed storage of milled rice under carbon dioxide. In Champ and E. Highley Eds.. Bulk handling and storage of grain in the humid tropics. Proc. of an International Workshop held at Kuala Lumpur, Malaysia, 6-9 October 1987, p. 189-196. Muhlbauer, W. 1983. Drying of agricultural products with solar energi. Procedings of Technical Consultstion of European Cooperative Network on Rural Energy, Tel. Aviv, Israel. 329-36. Prabowo, A., Y. Sinuseng, dan IGP. Sarasutha. 2000. Evaluasi alat pengering jagung dengan sumber panas sinar matahari dan pembakaran tongkol jagung. Hasil Penelitian Kelti Fisiologi. Balitjas, Maros. Prastowo, B,. I Sarasutha, Lando, Zubachtirodin, B. Abidin, dan Anasiru. 1998. Rekayasa teknologi mekanis untuk budi daya tanaman jagung dan upaya pascapanennya pada lahan tadah hujan. Jurnal Engineering Pertanian 5239-62. Subandi, Zubachtirodin, S. Saenong, W. Wakman, M. Mejaya, Firmansyah, dan Suryawati. 2003. Highligth Balai Penelitian Tanaman Serealia 2002. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. p. 14-16. 384 Jagung Teknik Produksi dan Pengembangan Syarief, R. dan J. Kumendong. 1997. Penanganan panen dan pascapanen jagung dalam rangka peningkatan mutu jagung untuk industri/ ekspor. Seminar Temu Teknis Badan Pengendali Bimas, Departemen Pertanian. Jakarta, 27 Pebruari 1997. Tastra, 1996. Pemipil jagung “SENAPILâ€, komponen paket supra insus dan pemacu agroindustri dan agribisnis jagung di pedesaan lahan kering. Monograf Balitkabi No. 1-1996. Warintek. 2007. Jagung zea mays, klasifikasi dan standar mutu. www. p. 1-3. Weibe, and Bjeldanes. 1981. Fusarium, a mutagen from fusarium monoliforne grown on corn. Journal of Food Science 24. p. 14-24. Firmansyah et al. Penanganan Pascapanen Jagung 385
Penentuankadar air dengan cara pengeringan prinsipnya yaitu menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini relatif mudah dan murah.
Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Pemetaan Rantai Pasok dan Analisis Nilai Tambah…..Amalia, et al. 147 pISSN 20885369 eISSN 26139952 DOI PEMETAAN RANTAI PASOK DAN ANALISIS NILAI TAMBAH KOMODITAS JAGUNG DI KABUPATEN TANAH LAUT SUPPLY CHAIN MAPPING AND ADDED VALUE ANALYSIS OF CORN COMMODITIES IN TANAH LAUT REGENCY R. Rizki Amalia٭, Nina Hairiyah, Nuryati Program Studi Agroindustri Politeknik Negeri Tanah Laut Jl. A. Yani Km. 6 Desa Panggung Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut *Email korespondensi Diterima 06-10-2020, diperbaiki 03-11-2020, disetujui 13-11-2020 ABSTRACT Kabupaten Tanah Laut is one of the districts in South Kalimantan Province which has the largest of corn production compared to other districts. Based on data from the Office of Horticultural Food Crops and Plantation of Tanah Laut Regency, it was found that the production of corn commodities from 2017 to 2019 increased. This happens because the demand for corn commodities continues to increase every year. In addition, in Tanah Laut Regency, two large animal feed companies have been established that require corn as the main raw material. The magnitude of this potential makes it necessary to identify entities through supply chain mapping so that the added value of each entity can be determined. The purpose of this research was to map the supply chain and analyze the added value of corn commodity supply chain in Tanah Laut Regency. The research method used in analyzing the supply chain is descriptive analysis using purposive sampling and snowball sampling to obtain in-depth and objective information. Meanwhile, value added analysis uses the Hayami results showed that there were three supply chain entities to reach consumers, namely farmers, small collectors, and large collectors. Meanwhile, the results of the analysis of the added value of each entity obtained the highest value, namely the large collectors with a value added ratio of 87% of Rp. 783, small collectors with a ratio of of Rp. 699, and farmer entities of with a value of Rp. 671, This is because the treatment of corn commodities in each entity is different. Keywords Added value, supply chain mapping, corn commodities ABSTRAK Kabupaten Tanah Laut merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Kalimantan Selatan yang memiliki produksi jagung terbesar dibandingkan Kabupaten Lainnya. Berdasarkan data Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Tanah Laut diperoleh bahwa produksi komoditas jagung dari tahun 2017 sampai dengan tahun 2019 meningkat. Hal ini terjadi karena permintaan komoditas jagung terus meningkat setiap tahun. Selain itu, di Kabupaten Tanah Laut telah berdiri dua perusahaan besar pakan ternak yang membutuhkan bahan baku utama jagung. Besarnya potensi tersebut membuat perlunya dilakukan identifikasi entitas melalui pemetaan rantai pasok sehingga nilai tambah pada setiap entitas dapat diketahui besarannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan rantai pasok dan menganalisis nilai tambah rantai pasok komoditas jagung di Kabupaten Tanah Laut. Metode penelitian yang digunakan dalam menganalisis rantai pasok adalah analisis deskriptif menggunakan puposive sampling dan snowball sampling untuk memperoleh informasi secara mendalam dan obyektif. Sedangkan analisis nilai tambah menggunakan metode 148 Jurnal Agroindustri Vol. 10 No. 2, November 2020 147-155 Hayami. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat tiga entitas rantai pasok untuk sampai ke konsumen yaitu yaitu petani, pengumpul kecil, dan pengumpul besar. Sedangkan hasil analisis nilai tambah setiap entitas diperoleh nilai tertinggi yaitu pada pengumpul besar dengan rasio nilai tambah 87% sebesar Rp. pengumpul kecil dengan rasio 86, 4% sebesar Rp. entitas petani sebesar 86,13% dengan nilai Rp Sedangkan tingkat keuntungan yang diperoleh entitas petani sebesar 67,82%, pengumpul kecil sebesar 68,76%, dan pengumpul besar sebesar 71,22%. Hal ini karena perlakuan pada komoditas jagung pada setiap entitas berbeda. Kata Kunci Komoditas jagung, nilai tambah, pemetaan rantai pasok PENDAHULUAN Jagung merupakan komoditas pangan kedua setelah padi dan dapat ditemukan di berbagai pelosok daerah Indonesia seperti di Provinsi Kalimantan Selatan. Penghasil komoditas jagung terbesar lebih dari 50% dari seluruh Provinsi Kalimantan Selatan berada di Kabupaten Tanah Laut. Selain itu, terdapat dua perusahaan besar yang bergerak dalam pengolahan pakan ternak dengan menggunakan bahan baku utama jagung. Berdasarkan Data Dari Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Tanah Laut, pada tahun 2017 produksi jagung di Kalimantan Selatan mencapai ton. Sedangkan pada tahun 2018 dan 2019 terus mengalami peningkatan produksi yaitu berturut turut sebesar ton dan ton. Hal ini terjadi karena banyaknya permintaan bahan baku jagung dari perusahaan untuk pembuatan pakan ternak. Petani biasanya menjual komoditas ke pelaku agroindustri seperti pemasok, pengumpul ataupun konsumen. Hubungan antara setiap pelaku agroindustri ini akan membentuk rantai pasok. Sistem rantai pasok akan berjalan lancar apabila adanya kepastian jumlah pasokan bahan baku dan jumlah permintaan komoditas jagung. Rantai pasok merupakan salah satu cara pendekatan yang digunakan untuk mencapai suatu konsep atau mekanisme untuk meningkatkan produktivitas dalam rantai pasok melalui optimalisasi waktu, lokasi dan aliran kuantitas bahan dengan sistem terkoordinasi yang terdiri dari organisasi, informasi, aktivitas dan sumber daya manusia yang terlihat secara bersama-sama memindahkan suatu produk atau jasa dari pemasok kepada pelanggan. Permintaan jagung akan terus meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan peningkatan dan kemajuan industri pakan ternak sehingga perlu adanya upaya peningkatan produksi komoditas jagung melalui sumber daya manusia, sumber daya alam, ketersediaan lahan, dan teknologi yang digunakan. Jagung yang khusus dijadikan sebagai pakan ternak biasanya dikeringkan terlebih dahulu agar harganya lebih tinggi dibandingkan jagung yang memiliki kadar air yang tinggi. Hal ini akan memberikan nilai tambah yang menyebabkan petani meningkatkan produksi dan dapat meningkatkan pendapatan petani Noviantari, 2015. Konsep nilai tambah adalah suatu perubahan nilai yang terjadi karena adanya perlakuan terhadap suatu input pada suatu proses produksi. Arus peningkatan nilai tambah komoditas pertanian terjadi di setiap mata rantai pasok dari hulu ke hilir yang berawal dari petani dan berakhir pada konsumen. Nilai tambah pada setiap entitas rantai pasok berbeda-beda tergantung dari input dan perlakuan oleh setiap anggota rantai pasok tersebut Marimin dan Slamet, 2010. Pemetaan rantai pasok komoditas jagung di Kabupaten Tanah Laut belum teridentifikasi dengan jelas sehingga nilai tambah pada setiap entitas belum diketahui besarannya. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan perancangan konsep dengan menggunakan pola pemetaan rantai pasok yang diharapkan dapat menentukan pola aliran rantai pasok dan nilai tambah komoditas jagung pada setiap entitas di Kabupaten Tanah Laut Pemetaan Rantai Pasok dan Analisis Nilai Tambah…..Amalia, et al. 149 METODE Penelitian dilakukan pada setiap entitas rantai pasok komoditas jagung di Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan. Pengumpulan data berupa data primer yang bersumber dari setiap entitas yang berhubungan dengan rantai pasok komoditas jagung. Sedangkan data sekunder bersumber dari Dinas Pertanian, Badan Pusat Statistik, internet serta berbagai literatur yang berkaitan dengan tema penelitian. Data primer yang diperlukan adalah data kualitatif dan kuantitatif mengenai pelaku/ entitas pada struktur rantai pasok, nilai tambah setiap entitas pada rantai pasok. Data primer ini diperoleh dengan cara melakukan wawancara kepada berbagai entitas rantai pasok berdasarkan pertanyaan yang sudah direncanakan agar hasil wawancara sesuai dengan kebutuhan penelitian. Metode pengumpulan data dengan cara melakukan penelusuran rantai pasok yang dimulai dari tingkat petani sampai ke konsumen. Sampel dipilih secara purposive dari tiap entitas petani dengan pertimbangan kemudahan memperoleh informasi. Petani yang dipilih adalah petani yang direkomendasikan oleh Dinas Hortikultura Tanaman Pangan dan Perkebunan di setiap kecamatan. Penelusuran rantai pasok berikutnya ditentukan dengan teknik snowball sampling dimana entitas lainnya ditentukan berdasarkan keterangan dari pihak petani yang berasal dari lokasi penelitian minimal 5 petani sehingga diperoleh informasi mengenai entitas peta rantai pasok komoditas jagung di Kabupaten Tanah Laut. Analisis rantai pasok ini mengacu pada penelitian Amalia dkk. 2017 yaitu menggunakan analisis deskriptif dimana metode ini digunakan dengan tujuan memperoleh gambaran secara mendalam dan obyektif mengenai objek penelitian. Sedangkan analisis nilai tambah yang digunakan pada kajian rantai pasok ini adalah metode Hayami Tabel 1. Analisis ini digunakan berdasarkan keunggulan metode Hayami untuk mengetahui besarnya pendapatan yang diperoleh oleh setiap anggota rantai pasok, yang terdiri atas tenaga kerja, modal, dan manajemen yang diusahakannya. Nilai Tambah = f { K, B, T, U, H, h, L } dimana K = Kapasitas produksi B = Bahan baku yang digunakan T = Tenaga kerja yang digunakan U = Upah tenaga kerja H = Harga output h = Harga bahan baku L = Nilai input lain nilai dan semua korbanan yang terjadi selama proses perlakuan untuk menambah nilai HASIL DAN PEMBAHASAN Pemetaan Rantai Pasok Rantai pasok komoditas pertanian sedikit berbeda dengan rantai pasok non pertanian. Hal ini karena sifat komoditas pertanian mudah rusak, proses penanaman sampai proses pemanenan tergantung terhadap iklim dan musim, adanya variasi ukuran dan bentuk hasil panen sehingga faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam rantai pasok komoditas pertanian untuk mendapatkan sistem rantai pasok yang komprehensif, efektif, efisien, dan berkelanjutan Furqon, 2014. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh pemetaan rantai pasok komoditas jagung di Kabupaten Tanah Laut seperti yang terlihat pada Gambar 1. 150 Jurnal Agroindustri Vol. 10 No. 2, November 2020 147-155 Tabel 1. Perhitungan Analisis Nilai Tambah Metode Hayami Koefisien Tenaga Kerja Langsung HOK/kg UpahTenaga Kerja Langsung Rp/HOK Penerimaan dan Keuntungan b. Rasio nilai tambah % 11b = 11 a / 10 x 100% a. Pendapatan tenaga kerja langsung Rp/kg b. Pangsa tenaga kerja langsung % 12b = 12a / 11a x 100% b. Tingkat keuntungan % 13b = 13a / 10 x 100% Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi a. Pendapatan tenaga kerja langsung % 14a = 12a / 14 x 100% b. Sumbangan input lain % 14b = 9 / 14 x 100% c. Keuntungan perusahaan % 14c = 13a / 14 x 100% Sumber Marimin dan Maghfiroh 2010 Gambar 1. Peta rantai pasok komoditas jagung di Kabupaten Tanah Laut Berdasarkan Gambar 1 terdapat 3 entitas pada rantai pasok komoditas jagung di Kabupaten Tanah Laut yaitu petani, pengumpul kecil dan pengumpul besar. Petani jagung merupakan penyedia bahan baku berupa jagung. Hasil panen komoditas jagung ini ada yang dijual ke kelompok tani, pengumpul kecil, pengumpul besar dan juga langsung ke konsumen. Pada proses penjualannya petani biasanya langsung menjual komoditas jagung ini tanpa mensortir terlebih dahulu. Petani jagung di Kabupaten Tanah Laut tersebar di hampir seluruh kecamatan yaitu Kecamatan Batu Ampar, Panyipatan, Pelaihari, Jorong, Bajuin, Takisung, Kurau, Bati-bati, Pemetaan Rantai Pasok dan Analisis Nilai Tambah…..Amalia, et al. 151 Tambang Ulang dan Kintap. Pengumpul kecil merupakan pemasok yang membeli jagung ke beberapa petani. Pengumpul kecil ini biasanya pemasok perorangan dan juga ada yg berkelompok seperti kelompok tani jagung yang aktivitasnya tidak hanya mengikuti Program Pemerintah tetapi juga ikut melakukan penjualan jagung ke pengumpul besar. Pengumpul kecil biasanya melakukan penyortiran bahan baku dengan memisahkan produk yang kualitasnya baik dengan yang rusak kemudian bahan baku tersebut dijual ke pengumpul besar. Harga bahan baku yang sudah dipisahkan berbeda tergantung dari ukuran dan bentuk fisik jagung. Pengumpul besar merupakan pemasok yang mengambil bahan baku baik dari petani dan pengumpul kecil. Semua bahan baku tersebut kemudian disortir kembali untuk memisahkan bahan baku yang kualitasnya baik dan tidak layak. Bahan baku yang kualitasnya baik dilakukan proses pengeringan agar kadar air jagung rendah sehingga sesuai dengan standar mutu yang diinginkan konsumen sesuai dengan SNI 01-4483-1998 yaitu maksimum 14%. Jika bahan baku lebih dari 14% biasanya harga bahan baku menjadi lebih murah di konsumen. Konsumen merupakan perusahaan pakan ternak yang ada di Kabupaten Tanah Laut. Konsumen mendapatkan bahan baku jagung tidak hanya dari pengumpul besar tetapi melalui beberapa entitas rantai pasok seperti Gambar 1 diantaranya 1. Peta aliran rantai pasok 1 merupakan aliran rantai pasok yang memiliki lintasan paling pendek yaitu dari petani konsumen. Pada pola aliran ini petani merupakan penyedia bahan baku sekaligus biasanya sebagai pengumpul besar sehingga bahan baku bisa langsung dijual ke konsumen dalam jumlah besar. Hubungan antara petani dan konsumen memiliki hubungan kerjasama melalui sistem kontrak sebagai pemasok bahan baku jagung. Hal ini dilakukan untuk melancarkan proses produksi pakan ternak. Menurut Saputra dkk. 2017 hubungan antara petani dan konsumen atau produsen dan perusahaan adalah adanya hubungan kemitraan atau kerjasama melalui kesepakatan kontrak dimana komitmen harus saling memuaskan dan menumbuhkan saling ketergantungan. Rantai pasok yang paling terpendek menguntungkan bagi petani dibandingkan dengan rantai pasok yang panjang. Bubun dkk. 2018 menyatakan bahwa manajemen rantai pasok yang baik adalah dimana rantai pasok tersebut dapat memangkas rangka rantai pasok, sehingga petani dapat langsung memiliki akses terhadap konsumen dan menjual produknya dengan harga yang relatif tinggi. Persentase petani yang menjual hasil jagung langsung ke konsumen sangat sedikit yaitu berkisar 7%. Hal ini karena petani ini juga sebagai pengumpul besar yang harus memiliki modal besar untuk mengeringkan jagung agar sesuai dengan kesepakatan kerjasama dengan konsumen. 2. Peta aliran rantai pasok 2 yaitu petani pengumpul besar konsumen. Pada lintasan ini pengumpul besar mendapatkan pemasokan bahan baku dari beberapa petani yang selanjutnya disortir dan dikeringkan terlebih dahulu sehingga kadar airnya rendah untuk langsung dijual ke konsumen. Menurut Firmansyah 2009 kadar air biji jagung yang yang beredar di masyarakat khususnya petani jagung rata-rata masih memiliki kadar air yang tinggi yaitu sekitar 25-35% sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama, sementara dalam kebutuhan industri kadar air biji jagung maksimal 14%. Proses pengeringan merupakan satu-satunya cara untuk menurunkan kadar air jagung hingga mencapai standar, sehingga pengeringan menjadi bagian yang terpenting dalam memproduksi jagung berkualitas Arsyad, 2018. Selain itu, pengumpul besar biasanya memberikan informasi mengenai harga dan permintaan bahan baku serta modal kepada petani baik berupa uang tunai 152 Jurnal Agroindustri Vol. 10 No. 2, November 2020 147-155 ataupun sarana yang dimanfaatkan untuk proses usaha tani. Hal ini sesuai dengan Husnarti 2017 yang menjelaskan bahwa pengumpul berperan dalam pemberian modal pada petani dan berperan juga dalam memberikan informasi tentang harga dan permintaan produk pertanian. Persentase petani yang menjual produk jagung melalui pengumpul besar sekitar 29%. Biasanya petani dalam lintasan rantai pasok ini memiliki lahan yang luas sehingga pengumpul besar memberikan pinjaman modal dengan kesepakatan penjualan jagung harus melalui pengumpul besar tersebut. 3. Peta aliran rantai pasok 3 ini merupakan aliran rantai pasok terpanjang dibandingkan lintasan yang lain dimana dimulai dari petani pengumpul kecil pengumpul besar konsumen. Pengumpul besar mendapatkan pemasokan bahan baku jagung dari beberapa petani, beberapa pengumpul kecil termasuk juga kelompok tani. Harga jual jagung dari petani ke pengumpul kecil dan kelompok tani yaitu Rp. kg. Sedangkan pengumpul kecil/ kelompok tani menjual jagung ke pengumpul besar seharga Rp. Sedangkan pengumpul besar menjual jagung ke konsumen sebesar Rp. Walaupun aliran rantai pasok ini panjang, namun ada sebagian besar petani menjual produknya ke pengumpul kecil kelompok tani sehingga hasil keuntungan yang diperoleh kelompok tani akan dibagikan juga ke petani-petani yang masuk dalam anggota kelompok tani. Menurut Djiwandi 1994 dalam Nuryanti dan Swastika 2011, kelompok tani merupakan organisasi yang dapat dikatakan berfungsi penting sebagai wadah pembinaan petani yang tergabung di dalamnya, sehingga dapat memperlancar pembangunan pertanian. Kelompok tani yang aktivitasnya juga sebagai pengumpul kecil berada di Kecamatan Panyipatan. Petani yang menggunakan lintasan ini paling banyak yaitu sekitar 64% karena biasanya petani yang menggunakan lintasan ini memiliki lahan pertanian yang sempit, kekurangan modal usaha, lebih mudah menjual produk karena biasanya lokasi pengumpul kecil berada dekat dengan petani. Marimin dan Maghfiroh 2010 menyatakan lintasan yang paling efektif adalah lintasan yang paling pendek yaitu lintasan pertama dari konsumen langsung ke produsen karena bahan baku yang dihasilkan oleh produsen langsung ke konsumen tanpa ada perantara sehingga keuntungan yang diperoleh lebih besar. Namun sebagian besar petani biasanya tetap melalui lintasan yang lebih panjang karena selain adanya kontrak dengan pengumpul, hasil panen juga langsung dibawa oleh pengumpul sehingga hasil panen tidak rusak ketika proses penyimpanan. Menurut Kambey dkk. 2016, penjualan melalui pengumpul lebih menguntungkan dibandingkan dijual sendiri ke konsumen karena pengumpul biasanya membeli komoditas jagung per lahan milik petani. Nilai Tambah Konsep nilai tambah terjadi karena adanya perlakuan input pada komoditas. Perlakuan ini dapat berupa proses pengolahan, pengemasan, penyimpanan, distribusi dan lain lain dalam suatu proses produksi yang menyebabkan terjadinya nilai tambah pada komoditas tersebut Marimin dan Maghfiroh, 2010. Setiap entitas baik petani, pengumpul kecil dan pengumpul besar memiliki nilai tambah yang berbeda sesuai dengan perlakuan terhadap input komoditas jagung. Perbedaan nilai tambah komoditas jagung dapat dilihat pada Tabel 2. Pemetaan Rantai Pasok dan Analisis Nilai Tambah…..Amalia, et al. 153 Tabel 2. Analisis Nilai Tambah Pada Setiap Entitas Rantai Pasok Komoditas Jagung Berdasarkan Tabel 2, rasio nilai tambah setiap entitas berbeda karena adanya perlakuan komoditas jagung yang berbeda. Rasio nilai tambah pada entitas pengumpul besar lebih besar yaitu 87% dengan nilai Rp. 783. 840,- dibandingkan dengan pengumpul kecil 86,4% dengan nilai Rp. dan petani 86,13% dengan nilai Rp. Perlakuan bahan baku jagung pada petani rata-rata setelah dipanen dilakukan pengeringan dengan menggunakan sinar matahari. Biasanya penjemuran dilakukan sehari atau 2 hari. Jika cuacanya mendung, jagung hanya disimpan dan menunggu pengumpul kecil mengambil bahan baku. Hal ini menyebabkan kadar air komoditas jagung di tingkat petani masih tinggi yaitu di atas 14%. Kondisi penanganan seperti ini sangat rentan menyebabkan kerusakan pada biji jagung dan penurunan kandungan gizinya Widaningrum dkk., 2010. Pengumpul kecil memberikan perlakuan berupa sortasi atau pemilahan produk yang mengalami penurunan mutu. Mutu tersebut dilihat dari segi fisik yaitu berupa ukuran dan kerusakan mekanis. Adapun kerusakan mekanis bisa berupa susut berat, memar, cacat, kotor, terdapat butiran pecah, dan perubahan warna karena mulai terjadi pembusukan Kristanto, 2008 dalam Hasnani, 2019. Menurut Amalia dkk. 2018 kerusakan mekanis dalam rangkaian kegiatan di rantai pasok perlu diperhatikan, karena dapat menjadi titik awal bagi kerusakan-kerusakan lain seperti kimiawi dan mikrobiologi. Setelah itu beberapa pengumpul langsung mengemas komoditas jagung dengan karung dan menjual komoditas ke pengumpul besar. 154 Jurnal Agroindustri Vol. 10 No. 2, November 2020 147-155 Pengumpul besar juga melakukan sortasi terlebih dahulu dengan melakukan pemilahan produk yang mutunya baik dengan produk yang mulai mengalami penurunan mutu. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kualitas terbaik sesuai permintaan konsumen. Jagung yang kualitasnya baik dilakukan pengeringan menggunakan mesin dryer sehingga pengeringannya tidak tergantung cuaca. Jagung yg dikeringkan berupa jagung utuh dan dan jagung pipil. Pengeringan ini dilakukan untuk menurunkan kadar air jagung sesuai dengan standar SNI yaitu 14%. Menurut Widaningrum dkk. 2010 kadar air yang tinggi menjadi penyebab tumbuhnya jamur dan menyebabkan tingginya kerusakan pada biji jagung. Selain nilai tambah, pada Tabel 2 terdapat tingkat keuntungan yang diperoleh setiap entitas. Keuntungan pada entitas petani yaitu sebesar 67,82%, sedangkan pada pengumpul kecil keuntungan yang diperoleh sebesar 73,67%. Keuntungan yang paling besar berada pada entitas pengumpul besar yaitu 76,30%. Berdasarkan hasil keuntungan ini pemasaran yang paling baik pemasaran pengumpul besar ke konsumen karena harga jual produk relatif lebih tinggi sehingga keuntungan yang diperoleh juga lebih tinggi Bubun dkk., 2018. KESIMPULAN Pemetaan rantai pasok komoditas jagung di Kabupaten Tanah Laut terdiri dari 3 tiga entitas yaitu petani, pengumpul kecil dan pengumpul besar. Sedangkan aliran rantai pasok yang terjadi pada pemetaan rantai pasok yaitu rantai pasok 1 yang dimulai dari petani langsung ke konsumen. Rantai pasok 2 yaitu dari petani ke pengumpul besar dan ke konsumen. Sedangkan rantai pasok 3 yaitu dimulai dari petani, pengumpul kecil, pengumpul besar dan ke konsumen. Nilai tambah yang dihasilkan dari setiap entitas rantai pasok berbeda sesuai dengan perlakuan terhadap komoditas tersebut. Rasio nilai tambah yang paling tinggi adalah pengumpul besar 87%, pengumpul kecil 86,4%, dan petani 86,13%. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada Politeknik Negeri Tanah Laut yang telah memberikan dana Penelitian Dosen Dana DIPA PD3 Tahun 2020 dengan No. Kontrak 016/ DAFTAR PUSTAKA Amalia, R. R., Hairiyah N, Nuryati. 2017. Pemetaan Rantai Pasok Buah Naga di Kabupaten Tanah Laut. Prosiding Seminar Nasional Riset Terapan. ISSN 2341-5662 Amalia, R. R., Hairiyah N, Nuryati. 2018. Analisis Kerusakan Mekanis dan Umur Simpan Pada Rantai Pasok Buah Naga Di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Industria Jurnal Teknologi dan Manajemen Industri 7232-41. Arsyad M. 2018. Pengaruh pengeringan terhadap laju penurunan kadar air dan berat jagung Zea mays L. untuk varietas bisi 2 dan NK22. Jurnal agropolitan 51 44-52. Bubun, Sukardi, Suparno O. 2018 . Kinerja Rantai Pasok Kedelai Di Kabupaten Grobongan. Jurnal Aplikasi Bisnis dan Manajemen 41 32-42. Firmansyah IU. 2009. Teknologi Pengeringan dan Pemipilan untuk Perbaikan Mutu Benih Jagung Studi Kasus di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Serealia Balai Penelitian Tanaman Serealia. ISBN 978-979-8940-27-9. Furqon C. 2015. Analisis Manajemen dan Kinerja Rantai Pasokan Agribisnis Buah Stroberi di Kabupaten Pemetaan Rantai Pasok dan Analisis Nilai Tambah…..Amalia, et al. 155 Bandung. IMAGE Jurnal Riset Manajemen 32 109-126. Hasnani S., Jamaluddin P., Ratnawaty F. 2019. Pengaruh Teknik Penyimpanan terhadap pengendalian Aflatoksin Jagung Zea Mays L selama penyimpanan. Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian 5S37 – S47. Husnarti. 2017. Pedagang Pengumpul di Kabupaten Lima Puluh Kota. Jurnal Pertanian Faperta UMSB 11 1-8. Kambey Kawet L., Sumarauw 2016. Analisis Rantai Pasokan Supply Chain Kubis di Kelurahan Rurukan Kota Tomohon. Jurnal Emba, 45303-408 Marimin dan Magfiroh, N. 2010. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan Rantai Pasok. IPB Press. Bogor. Marimin dan Slamet 2010. Analisis Pengambilan Keputusan Manajemen Rantai Pasok Bisnis Komoditi dan Produk Pertanian. Jurnal Pangan, 192 169–188. Noviantari K., Ali Ibrahim H., Novi R. 2015. Analisis Ratai Pasok dan Nilai Tambah Agroindustri Kopi luwak di Propinsi Lampung. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis 31 10-17. Nuryanti S., Swastika 2011. Peran Kelompok Tani dalam Penerapan Teknologi Pertanian. Forum Penelitian Agro ekonomi, 292115-128. Saputra Anggareni Dharma 2017. Pola Kemitraan Usaha Tani Kelapa Sawit Kelompok Tani Telaga Biru dengan PT. Sawindo Kencana melalui Koperasi di Kabupaten Bangka Barat Provinsi Bangka Belitung. E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata 62249-258. Widaningrum, Miskiyah, Somantri. 2010. Perubahan sifat fisiko-kimia jagung Zea Mays L pada penyimpanan dengan perlakuan karbondioksida CO2. Jurnal Agritech 301 36-45. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Naga Hylocereuspolyrhiyzus merupakan salah satu komoditas yang memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan. Sebagai salah satu komoditas hortikultura, buah naga memiliki tingkat kerusakan yang cukup tinggi dalam proses distribusinya hingga ke tangan konsumen. Buah naga melewati beberapa proses dimulai dari pemanenan, pengangkutan, penyortiran, pengemasan, penyimpanan, pendistribusian dan pemasaran untuk sampai ke konsumen akhir. Oleh karena itu diperlukan kajian mengenai masing-masing proses yang ada dengan tujuan mempertahankan kualitas buah naga sampai ke tangan ini bertujuan untuk melakukan pemetaan rantai pasok buah naga khususnya pasar yang berlokasi di daerah wisata Tanah Laut. Penelitian dilakukan di lokasi wisata Tanah Laut antara lain sekitar Tampang, Tajau Pecah dan Bati-Bati. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data-data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara dengan daftar pertanyaan yang telah dibuat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aliran rantai pasok buah naga memiliki empat pola aliran yang terdiri dari entitas petani, pengumpul kecil, pengumpul besar, pedagang pengecer dan konsumen. Kata Kunci buah naga, pemetaan, rantai pasok Marimin MariminNurul MaghfirohPemikiran sistem dapat dipandang sebagai dorongan terhadap kepiawaian ilmu pengetahuan dalam menghadapi permasalahan yang kompleks dan dinamis, yang terjadi pada sistem kehidupan. Ilmu sistem mengajarkan pendekatan holistik yang selalu berupaya mengurai persoalan yang kompleks menjadi bagian-bagiannya agar dapat dipelajari dan diinterpretasi. Buku ini mendiskusikan secara ilustratif tahap demi tahap suatu cara pandang dalam pengambilan keputusan dan aplikasinya dalam berbagai bidang, utamanya pada manajemen rantai pasok yang tergolong sulit dan kompleks, yang diekspresikan secara sederhana. Aspek kajian diawali dengan pembahasan tentang pendekatan kesisteman dan peran teknik pengambilan keputusan, dalam penyelesaian persoalan keputusan manajemen dan keteknikan pada umumnya dan manajemen rantai pasok pada khususnya. Secara iteratif, kemudian dibahas prinsip manajemen rantai pasok dan dukungan keputusan yang diperlukan, lalu dilanjutkan dengan pembahasan teknik-teknik keputusan sederhana, sedang, dan kompleks yang dilengkapi berbagai aplikasi penerapannya. Buku ini sesuai untuk dibaca bagi kalangan staf pengajar perguruan tinggi, mahasiswa program sarjana dan pascasarjana, peneliti, industri dan pemerhati pendekatan sistem, teknik dan sistem pengambilan keputusan dan manajemen rantai pasok. Shriji HasnaniJamaluddin JamaluddinRatnawaty FadilahThe purpose of this study was to determine the method of controlling the levels of aflatoxin corn with storage techniques using plastic sack packaging without base and with pedestal during storage. This research method is in the form of an experiment using a T test with 2 treatments repeated three times. The treatment in this study is shelled corn packaging plastic sacks without base and shelled corn packaging plastic bag with a base. During storage the sample is observed levels of aflatoxin, water content, air humidity and temperature. The results showed that there were differences in levels of aflatoxin and increased with the length of storage. The best treatment is obtained from the shelled corn using a base at 7th day, 14th day, 21st and 28th day storage with an average value of ppb, ppb, 44 ppb and 49 ppb. Analysis of the levels of aflatoxin in the treatment of piped corn packing plastic bags using a base meets the requirements of corn quality based on Indonesian National Standards. Sri NuryantiDewa Ketut Sadra Swastikap> English This paper describes roles of farmers’ groups in agricultural technology application. A farmers’ group is defined as a group of farmers informally consolidate themselves based on their common goals in farming activities. Initial spirit of establishing a farmers’ group is to strengthen farmers’ bargaining position, especially in terms of collective purchasing of farm inputs and selling their agricultural products efficiently. Indonesia has a long experience in formation of farmers’ groups since Mass Intensification BIMAS and Special Intensification INSUS were launched in 1970s-1980s. Currently, most of farmers groups in Indonesia are not formed by farmers themselves, but they are mostly formed as a response to the government program that requires farmers to become members of a farmers’ group. Most of government support for farmers, such as distribution of subsidized fertilizer, agricultural extension, subsidized farm credits and other programs are distributed to farmers’ group or farmers’ groups association. Introduction and promotion of a new technology is also delivered through farmers’ groups. Thus, the roles of a farmers’ group are not only as the means of distributing government assistance and extension services, but also as the agent for new technology adoption. Indonesian Makalah ini merupakan tinjauan review dari berbagai literatur dan hasil penelitian terdahulu, ditujukan untuk mendeskripsikan peran kelompok tani dalam penerapan teknologi pertanian. Kelompok tani didefinisikan sebagai sekelompok petani yang secara informal mengkonsolidasi diri berdasarkan kepentingan bersama dalam berusahatani. Semangat awal pembentukan kelompok tani adalah untuk memperkuat posisi tawar, terutama dalam pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil secara kolektif. Indonesia mempunyai pengalaman panjang pembentukan kelompok tani, sejak diluncurkannya program BIMAS, INSUS dan Supra Insus di era 1970-an dan 1980-an. Saat ini kebanyakan kelompok tani di Indonesia tidak lagi dibentuk atas inisiatif petani dalam memperkuat diri, melainkan kebanyakan merupakan respon dari program-program pemerintah yang mengharuskan petani berkelompok. Umumnya program-program bantuan pemerintah seperti penyaluran pupuk bersudsidi, penyuluhan teknologi pertanian, kredit usahatani bersubsidi, dan program-program lain disalurkan melalui kelompok tani atau gabungan kelompok tani Gapoktan. Petani yang ingin mendapat teknologi baru dan berbagai program bantuan pemerintah harus menjadi anggota kelompok atau anggota Gapoktan. Dengan demikian, peran kelompok tani tidak hanya sebagai media untuk menyalurkan bantuan-bantuan pemerintah, tetapi juga sebagai agen penerapan teknologi baru.
TIB& MPKMB 2011. MPKMB yang dilaksanakan pada tanggal 4-5 agustus 2011 adalah sebuah wahana perkenalan bagi mahasiswa/mahasiswi baik yang melalui jalur reguler maupun non reguler terhadap Kampus Diploma IPB. meskipun acara dilaksanakan saat bulan Rhamadhan, hal ini ternyata tidak menjadi beban bagi mahasiswa yang menjalankan ibadah puasa. ini
ArticlePDF AvailableAbstractUbi jalar merupakan sumber karbohidrat yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan pengganti beras. Ubi jalar mempunyai keragaman jenis yang terdiri atas jenis lokal dan beberapa varietas unggul. Ubi jalar dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, pakan ternak, dan bahan baku industri. Pati merupakan salah satu bentuk pengolahan ubi jalar yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku di industri, baik pangan maupun nonpangan. Penelitian ini bertujuan mengetahui varietas ubi jalar dan suhu pengeringan terbaik terhadap sifat fisik dan kimia pati ubi jalar. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL faktorial yang terdiri atas dua faktor yaitu faktor varietas ubi jalar A dan suhu pengeringan B. Faktor varietas ubi jalar A terdiri atas empat taraf, yaitu A1 = varietas lokal, A2 = varietas muara, A3 = varietas jago, dan A4 = varietas sukuh. Faktor suhu pengeringan B terdiri atas tiga taraf yaitu B1 = 40 °C, B2 = 50 °C, dan B3 = 60 °C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor varietas ubi jalar berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen, suhu gelatinisasi, swelling power, kadar air, dan berpengaruh nyata terhadap organoleptik warna pati ubi jalar yang dihasilkan. Faktor suhu pengeringan berpengaruh sangat nyata terhadap swelling power dan kadar air pati ubi jalar. Faktor interaksi antara varietas ubi jalar dan suhu pengeringan berpengaruh tidak nyata terhadap kadar abu pati ubi jalar. Berdasarkan analisis organoleptik pati ubi jalar yang disukai oleh panelis adalah pati ubi jalar dari varietas muara dengan suhu pengeringan 60 °C dengan nilai kesukaan warna penerimaan antara biasa sampai suka. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 20 No. 1 [April 2019] 33-44Karakteristik Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar [Irhami dkk]33KARAKTERISTIK SIFAT FISIKOKIMIA PATI UBI JALAR DENGAN MENGKAJI JENIS VARIETAS DAN SUHU PENGERINGANPhysicochemical Properties of Sweet Potato Starches by Studying Their Varie-ties and Drying TemperaturesIrhami1*, Chairil Anwar2, Mulla Kemalawaty21Program Studi Agroindustri, Politeknik Indonesia Venezuela, Aceh BesarJl. Bandara Iskandar Muda Km 12 Desa Cot Suruy, Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar 233722Program Studi Pengolahan Hasil Ternak, Politeknik Indonesia Venezuela, Aceh BesarJl. Bandara Iskandar Muda Km 12 Desa Cot Suruy, Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar 23372*Penulis Korespondensi email irhamistp 24 Agustus 2018 Direvisi 9 Januari 2019 Diterima 26 Maret 2019 ABSTRAKUbi jalar merupakan sumber karbohidrat yang memiliki potensi untuk dikembangkan se-bagai bahan pengganti beras. Ubi jalar mempunyai keragaman jenis yang terdiri atas jenis lokal dan beberapa varietas unggul. Ubi jalar dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, pakan ter-nak, dan bahan baku industri. Pati merupakan salah satu bentuk pengolahan ubi jalar yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku di industri, baik pangan maupun nonpangan. Penelitian ini bertujuan mengetahui varietas ubi jalar dan suhu pengeringan terbaik terhadap sifat sik dan kimia pati ubi jalar. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL faktorial yang terdiri atas dua faktor yaitu faktor varietas ubi jalar A dan suhu pengeringan B. Faktor va-rietas ubi jalar A terdiri atas empat taraf, yaitu A1 = varietas lokal, A2 = varietas muara, A3 = varietas jago, dan A4 = varietas sukuh. Faktor suhu pengeringan B terdiri atas tiga taraf yaitu B1 = 40 °C, B2 = 50 °C, dan B3 = 60 °C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor varietas ubi jalar berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen, suhu gelatinisasi, swelling power, kadar air, dan berpengaruh nyata terhadap organoleptik warna pati ubi jalar yang dihasilkan. Faktor suhu pengeringan berpengaruh sangat nyata terhadap swelling power dan kadar air pati ubi jalar. Fak-tor interaksi antara varietas ubi jalar dan suhu pengeringan berpengaruh tidak nyata terhadap kadar abu pati ubi jalar. Berdasarkan analisis organoleptik pati ubi jalar yang disukai oleh panelis adalah pati ubi jalar dari varietas muara dengan suhu pengeringan 60 °C dengan nilai kesukaan warna penerimaan antara biasa sampai suka. Kata kunci Fisikokimia Pati Ubi Jalar; Suhu Pengeringan; Varietas Ubi JalarABSTRACTSweet potatoes are source of carbohydrates that have potential to be developed as a substitute for rice. Sweet potato has a variety of species consisting of local species and several superior varieties. Sweet pota-toes can be used as food, animal feed, and industrial raw materials. Starch is one form of sweet potato pro-cessing that can be used as raw material among industries, both food, and non-food industries. This study aims to determine the sweet potato variety and the best drying temperature for the physical and chemical properties of sweet potato starch. This study uses factorial completely randomized design CRD consisting of two factors, sweet potato variety A and drying temperature B. Sweet potato varieties consisted of four levels A1 = local varieties, A2 = muara varieties, A3 = jago varieties, and A4 = sukuh varieties. Drying temperature factor B consists of three levels, B1 = 40 °C, B2 = 50 °C, and B3 = 60 °C. The results showed that sweet potato varieties had a very signicant effect on yield, gelatinization temperature, swelling power, water content, and signicantly affected to the organoleptic color of sweet potato starch produced. Drying temperature factor had a very signicant effect on swelling power and moisture content of sweet potato starch. The interaction factors between sweet potato varieties and drying temperature had no signicant Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 20 No. 1 [April 2019] 33-44Karakteristik Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar [Irhami dkk]34PENDAHULUANUbi jalar merupakan sumber karbohi-drat yang dapat dimanfaatkan sebagai sum-ber bahan pangan, pakan ternak, dan bahan baku industri. Ubi jalar adalah tanaman mer-ambat yang sangat banyak ragamnya. Ubi jalar dalam bentuk segar mudah rusak akibat faktor mekanik, siologis, dan mikrobiologis yang berkaitan dengan kadar air yang tinggi serta tidak tahan lama disimpan. Ubi jalar yang mudah rusak ini dapat diolah menjadi berbagai macam produk olahan. Salah satu bentuk pengolahan ubi jalar yaitu pengola-han menjadi didapatkan melalui proses ek-straksi karbohidrat yakni pengecilan ukuran melalui grinding pemarutan dilanjutkan proses ekstraksi dengan memakai pelarut biasanya air untuk mengeluarkan kandun-gan pati melalui sendimentasi atau pengen-dapan, selanjutnya dikeringkan pada suhu dan lama waktu tertentu hingga mendapat-kan pati yang siap digunakan Martunis, 2012.Pati ubi jalar diperoleh dari umbi ubi jalar dengan sistem pengolahan basah. Proses pembuatan pati ubi jalar di Indone-sia masih belum berkembang, seperti halnya pati dari ubi kayu atau tapioka yang berkem-bang pesat. Pemilihan varietas ubi jalar san-gatlah penting dan harus disesuaikan den-gan tujuan pemanfaatannya, karena setiap jenis ubi jalar memiliki karakteristik tertentu. Menurut Jusuf et al., 1998, pemilihan jenis ubi jalar yang digunakan untuk suatu jenis produk tertentu memiliki kriteria-kriteria yang harus diperhatikan, misalnya untuk pembuatan tepung ubi jalar hendaknya menggunakan varietas yang memiliki ren-demen tepung yang lebih dari 25% dengan bentuk umbi yang ubi jalar sebelum dilaku-kan proses pengolahan menjadi pati adalah dengan pengeringan. Secara umum, penger-ingan pati dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengeringan dengan sinar matahari dan alat pengering. Pengeringan pati den-gan cara penjemuran masih dilakukan oleh industri tapioka. Keuntungan dari penger-ingan dengan menggunakan sinar matahari yaitu lebih murah dan mudah. Pengeringan ini juga memiliki kelemahan, yaitu berja-lan sangat lambat sehingga memungkinkan terjadinya pembusukan sebelum bahan-nya cukup kering. Kelemahan lainnya yaitu, hasil pengeringan tidak merata serta adanya kontaminan dari debu selama proses pen-geringan. Transfer panas yang tidak mera-ta kedalam bahan juga akan menyebabkan pati menjadi lembab, berbau asam, dan me-nyebabkan timbulnya jamur sehingga dapat menurunkan mutu pati. Selain menggunakan pengering den-gan matahari, maka salah satu alternatif lainnya adalah dengan menggunakan pen-geringan buatan oven. Proses pengeringan menggunakan oven memiliki keuntungan yakni suhu dan waktu pemanasan yang da-pat diatur Alim, 2004. Berkaitan dengan proses pengeringan. Novary 1997 men-gungkapkan bahwa waktu dan suhu penger-ingan yang digunakan tidak dapat ditentu-kan dengan pasti untuk setiap bahan pangan, namun hal tersebut bergantung pada jenis bahan yang dikeringkan, diantaranya untuk jenis bubuk bahan pangan menggunakan suhu 40–60 °C selama 6–8 jam. Pada proses pengeringan pati dengan bantuan alat pen-gering maka proses tersebut dapat berlang-sung lebih cepat yaitu sekitar 6 jam Suismo-no, 2002. Untuk menghasilkan pati ubi jalar yang baik maka diperlukan penelitian untuk menentukan suhu terbaik dari beberapa va-rietas ubi jalar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sifat sikokimia pati ubi jalar dengan mengkaji jenis varietas dan suhu yang digunakan pada peneli-tian ini adalah ubi jalar dari empat varietas effect on the levels of sweet potato starch ash. Based on the analysis of organoleptic sweet potato starch preferred by the panelists are sweet potato starch from muara varieties with a drying temperature of 60 °C with a favorite value of color acceptance between normal to likeKeyword Drying Temperature; Physicochemical Sweet Potato Starch; Sweet Potato Varieties Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 20 No. 1 [April 2019] 33-44Karakteristik Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar [Irhami dkk]35yaitu varietas lokal yang berwarna daging umbi kuning, varietas muara yang berwarna daging umbi jingga, varietas jago dan varie-tas sukuh yang berwarna daging umbi putih dengan umur panen bulan. Bahan-ba-han tersebut diperoleh dari kebun percobaan program studi Pengelolaan Perkebunan Po-liteknik Indonesia Venezuela Bahan-bahan lainnya adalah aquades, eter, NaOH 1%, dan H2SO4 25% yang diperoleh dari laboratorium Analisis Hasil Pertanian Universitas Syiah Kuala. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah beaker glass, erlenmeyer dan gelas piala merk Pyrex, oven merk J Labtech, sen-trifuge merk Gyrozen Type 2236HR, neraca analitik merek Matler Toledo type AL204, ayakan, hammer mill JFS-2000, waterbath DSB-500E merk Daihan Labtech, desikator DN 300 merk ini menggunakan Rancan-gan Acak Lengkap RAL dengan pola fak-torial 3x3 yang terdiri atas dua faktor yaitu faktor varietas ubi jalar A dan suhu penger-ingan B. Faktor varietas ubi jalar A terdiri atas empat taraf, yaitu A1 = varietas lokal, A2 = varietas muara, A3 = varietas jago, dan A4 = varietas sukuh. Faktor suhu pengeringan B terdiri atas tiga taraf yaitu B1 = 40 °C, B2 = 50 °C, dan B3 = 60 °C. Setiap perlakuan di-lakukan 3 kali Pati Ubi JalarPada penelitian ini terdapat beberapa prosedur yang dilakukan untuk memperoleh pati ubi jalar. Tahapan yang dilakukan dalam pembuatan pati ubi jalar adalah masing-mas-ing 500 g ubi jalar dari varietas lokal, muara, jago, dan sukuh disortasi dari yang busuk dan rusak akibat gesekan maupun serangan hama. Kulit dibersihkan dari kotoran seperti tanah, pasir, dan lainnya dengan menggu-nakan air, kemudian kulit dikupas dengan menggunakan pisau dan umbi dicuci agar bersih dari lendir yang terdapat pada lapisan luar, lalu umbi direndam dalam air selama 1 jam dengan tujuan untuk melunakkan jarin-gan umbi agar umbi lebih mudah diparut. Se-lanjutnya umbi digiling menggunakan mesin penggiling dan hasilnya berupa bubur umbi. Bubur umbi yang diperoleh diekstraksi den-gan air sebanyak 1 bagian bubur dengan 2 bagian air, diaduk-aduk agar pati lebih ban-yak terlepas dari sel umbi. Kemudian bubur umbi disaring dengan kain saring sehingga pati lolos dari saringan sebagai suspensi pati dan ampas tertinggal pada kain saring. Sus-pensi pati dibiarkan mengendap didalam wadah pengendapan selama 8 jam. Pati akan mengendap, selanjutnya dilakukan penirisan untuk memisahkan pati dengan cairan. En-dapan pati dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 40 °C, 50 °C, dan 60 °C selama 6 jam selanjutnya didinginkan. Setelah proses pengeringan selesai maka akan dihasilkan pati kasar dan dilakukan pengecilan ukuran menggunakan hammer mill, maka hasil dari penepungan diayak dengan ayakan beruku-ran 80 mesh sehingga dihasilkan pati ubi jalar Sifat FisikoKimia Pati Ubi JalarParameter pengamatan yang dilaku-kan pada sifat sikokimia pati ubi jalar ini meliputi rendemen, penentuan suhu gelati-nisasi Kartikasari et al., 2016, swelling power Swinkels, 1987, kadar air Apriyantono et al., 1989, kadar abu Sudarmadji et al., 1996, kadar pati Apriyantono et al., 1989, dan uji organoleptik terhadap warna Soekarto, 1985. Analisis DataSemua data yang disajikan dalam pe-nelitian ini dianalisis menggunakan analisis sidik ragam atau Analysis of Variance ANO-VA dengan software SPSS 2010. Apabila has-il ANOVA menunjukkan adanya perbedaan pada perlakuan maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil BNT dengan taraf 5%.HASIL DAN PEMBAHASANRendemenRendemen merupakan nisbah antara hasil yang diperoleh dengan bahan dasarn-ya. Rendemen pati ubi jalar yang dihasilkan berkisar antara dengan rende-men rata-rata Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor varietas ubi jalar berpengaruh sangat nyata terha-dap rendemen pati ubi jalar yang dihasilkan. Suhu pengeringan dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang tidak nyata ter-hadap rendemen pati ubi jalar yang dihasil-kan. Hasil uji Beda Nyata Terkecil BNT rendemen dengan pengaruh varietas ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 1 menunjukkan bahwa ren-demen pati ubi jalar tertinggi diperoleh dari varietas sukuh yaitu sedangkan Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 20 No. 1 [April 2019] 33-44Karakteristik Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar [Irhami dkk]36rendemen pati terendah diperoleh dari vari-etas muara yaitu Menurut Suismono 2002, rendemen pati ubi-ubian umumnya rendah, seperti rendemen pati ubi kayu tap-ioka, pati ganyong, dan pati ubi jalar mas-ing-masing sebesar 25%, dan Menurut Rahman et al. 2015, pada proses produksi pati, ekstraksi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kualitas rendemen pati yang dihasilkan. Rendemen pati sangat berhubungan dengan kadar pati yang terkandung dalam ubi kayu. Perbedaan rendemen pati yang dihasilkan diduga disebabkan dari perbedaan kadar pati bahan dasarnya. Adapun kadar pati segar masing-masing varietas ubi jalar yaitu lokal muara jago dan sukuh Ginting et al., 2005; Ginting et al., 2014; Ginting et al., 2018. Namun, kadar pati setelah ekstraksi pada penelitian untuk varietas sukuh lebih tinggi daripada varietas muara sehingga rendemen pati yang dihasilkan varietas sukuh lebih banyak daripada varietas muara. Proses ekstraksi dan penirisan pati juga akan mengakibatkan susut bobot pati akan semakin berkurang sehingga akan mempengaruhi rendemen dari pati ubi jalar yaitu berkurangnya rendemen yang dihasil-kan. Perbedaan rendemen yang dihasilkan juga telah terlihat pada proses penirisan endapan pati, dari keempat varietas yang digunakan, varietas muara, menghasilkan endapan pati yang lebih sedikit dan tekstur endapan lebih lembek dibandingkan vari-etas sukuh, jago, dan lokal yang endapannya lebih banyak dan padat. Rahayuningsih et al., 2012 menambahkan bahwa rendemen pati ubi jalar dipengaruhi oleh sifat genetik varie-tas, umur panen, dan juga lingkungan GelatinisasiBerdasarkan penelitian diperoleh suhu gelatinisasi pati ubi jalar dari berbagai varie-tas dan suhu pengeringan berkisar antara 61–72 °C dengan nilai rata-rata suhu gelatinisasi °C. Hasil analisis sidik ragam suhu gelatinisasi menunjukkan bahwa varietas ubi jalar berpengaruh nyata terhadap suhu gelatinisasi pati ubi jalar, sedangkan suhu pengeringan dan interaksi keduanya berpen-garuh tidak nyata terhadap suhu gelatinisasi pati. Gambar 2 memperlihatkan pengaruh varietas ubi jalar terhadap suhu gelatinisasi pati ubi jalar. Suhu gelatinisasi tiap-tiap pati berbeda dan merupakan suatu kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukan untuk mengembang. Pada saat granula pati yang terdapat di dalam tepung mulai pecah, maka akan diperoleh suhu gelatinisasi pati. Semakin rendah suhu gelatinisasi, waktu gelatinisasi juga semakin pendek Dewi et al., 2012. Gambar 2 menunjukkan bahwa suhu gelatinisasi terendah diperoleh dari varietas muara, sedangkan suhu gelatinisasi tertinggi diperoleh dari varietas sukuh. Kisaran suhu gelatinisasi tersebut sesuai dengan kisaran yang dikemukakan Moorthy 2004, yaitu sekitar °C. Suhu gelatinisasi memiliki hubungan dengan kadar amilosa pati, dima-na semakin tinggi kadar amilosa pati, maka pada umumnya suhu gelatinisasi semakin tinggi Fennema, 2008. Tingginya suhu gelatinisasi mengindikasikan adanya ke-beradaan pati yang resisten untuk mengem-bang Maninder et al., 2006.Swelling PowerSifat dasar granula pati adalah ke-mampuannya membengkak swelling dan menghasilkan pasta. Bila suspensi pati dari granula pati dipanaskan diatas suhu gelati-nisasi, maka granula pati akan sangat me-nyerap air dan mengembang beberapa kali lipat. Peristiwa ini bersifat dapat balik irre-versible Antarlina, 1999.Swelling power pati ubi jalar yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara dengan rata-rata Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa varietas ubi jalar dan suhu pengeringan ber-pengaruh sangat nyata terhadap nilai swell-ing power pati ubi jalar, sedangkan interaksi antara keduanya memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap nilai swelling pow-er pati ubi jalar. Gambar 3 memperlihatkan pengaruh varietas ubi jalar terhadap nilai swelling power. Gambar 3 memperlihatkan bahwa nilai swelling powertertinggi diperoleh dari varietas sukuh yaitu dan swelling power teren-dah diperoleh dari varietas lokal yaitu Tingginya nilai swelling power varietas sukuh diduga karena sukuh memiliki kandungan amilopektin yang lebih tinggi daripada varie-tas lainnya. Semakin tinggi kandungan amilo-pektin maka akan semakin banyak menyerap air. Haryadi 1993 menyatakan bahwa ami-lopektin pada umumnya merupakan penyu-sun struktur utama granula kebanyakan pati. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 20 No. 1 [April 2019] 33-44Karakteristik Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar [Irhami dkk]37Gambar 1. Pengaruh varietas ubi jalar terhadap rendemen pati ubi jalar BNT = KK = 2. Pengaruh varietas ubi jalar terhadap suhu gelatinisasi pati ubi jalar BNT = KK = 3. Pengaruh varietas ubi jalar terhadap swelling power pati ubi jalar BNT = 061, KK = 1,19% Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 20 No. 1 [April 2019] 33-44Karakteristik Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar [Irhami dkk]38Gambar 4. Pengaruh suhu pengeringan terhadap swelling power pati ubi jalar BNT = KK = 5. Pengaruh varietas ubi terhadap kadar air pati ubi jalar BNT = KK = 6. Pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar air pati ubi jalar BNT = KK = Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 20 No. 1 [April 2019] 33-44Karakteristik Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar [Irhami dkk]39Gambar 7. Pengaruh varietas ubi jalar terhadap kadar pati ubi jalar BNT = KK = 8. Pengaruh varietas ubi jalar terhadap warna pati ubi jalar BNT = KK = 1. Varietas ubi jalar Suhu Pengeringan40 oC 50 oC 60 oClokal a b b b a ab b ab Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 20 No. 1 [April 2019] 33-44Karakteristik Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar [Irhami dkk]40Bagian ini merupakan susunan yang kurang kompak atau amorf sehingga lebih mudah dicapai oleh air. Santosa et al. 1997 juga telah meneliti daya mengembang swelling power pati yang diperoleh dari dua varietas ubi jalar yaitu varietas bentul yang berdaging umbi me-rah dan varietas ciceh yang berdaging umbi putih. Hasil penelitian tersebut menunjuk-kan bahwa varietas ciceh daya mengem-bangnya lebih tinggi yaitu sekitar dibandingkan varietas bentul sekitar Hal ini disebabkan karena kadar amilopektin varietas bentul lebih rendah dibandingkan varietas 4 memperlihatkan bahwa nilai swelling pati ubi jalar tertinggi diperoleh pada pengeringan dengan suhu 60 °C sedangkan nilai swelling power terendah diperoleh pada pengeringan dengan menggunakan suhu 40 °C. Tingginya nilai swelling power pada pen-geringan 60 °C kemungkinan disebabkan pada saat pati basah dikeringkan dengan suhu 60 °C terdapat sebagian granula yang telah mengalami gelatinisasi. Biasanya pati yang telah tergelatinisasi memiliki kemamp-uan menyerap air yang lebih besar. Winarno 1995 menyatakan bahwa pati yang telah mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan, tetapi molekul-molekulnya tidak dapat kem-bali lagi ke sifat asal. Pati yang telah kering tersebut masih mampu menyerap air bahkan dalam jumlah yang lebih besar dibanding-kan dengan pati yang belum tergelatinisasi. Semakin tinggi suhu yang digunakan maka nilai swelling power akan semakin AirKadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam suatu bahan yang dinyatakan dalam persen %. Kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak sehingga akan menyebabkan terjadinya pe-rubahan pada bahan. Kadar air pati ubi jalar dari berba-gai varietas dan suhu pengeringan berkisar antara dengan nilai rata-rata kes-eluruhan Hasil analisis sidik ragam kadar air pati ubi jalar menunjukkan bahwa varietas ubi jalar dan suhu pengeringan ber-pengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap kadar air pati ubi jalar. Gam-bar 5 memperlihatkan pengaruh varietas ubi jalar terhadap kadar air pati ubi 5 dapat dilihat bahwa kadar air tertingi terdapat pada varietas muara yaitu sebesar sedangkan kadar air terendah diperoleh dari varietas lokal yaitu Tingginya kadar air pada varietas muara diduga karena pada varietas muara yang berdaging umbi merah memiliki kand-ungan air bahan yang lebih tinggi diband-ingkan dengan varietas lokal yang memiliki warna daging umbi kuning serta varietas jago dan sukuh yang berdaging umbi putih. Adanya perbedaan kandungan air air awal pada bahan, sehingga berpengaruh terha-dap kadar air pati yang dihasilkan. Adapun kadar air awal masing-masing varietas ubi jalar yaitu lokal muara jago dan sukuh Ginting et al., 2005; Ginting et al., 2014; Ginting et al., 2018.Suismono 1995 mengatakan bahwa kandungan air ubi jalar segar yang tertinggi dimiliki oleh ubi jalar dengan warna daging umbi merah yaitu sebesar ubi jalar dengan daging umbi putih sekitar dan kandungan air terendah dimiliki oleh umbi yang berwarna kuning yaitu Gambar 6 memperlihatkan bahwa kadar air tertinggi diperoleh dari pengerin-gan dengan menggunakan suhu 40 °C. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka kadar air pati ubi jalar yang dihasilkan juga se-makin rendah. Semakin tinggi suhu penger-ingan akan semakin besar energi panas yang dibawa oleh udara sehingga semakin banyak jumlah massa cairan yang diuapkan dari per-mukaan bahan yang dikeringkan. Menurut Vallous 2002, pening-katan tekanan uap atau suhu pengeringan menyebabkan terjadinya penurunan kadar air bahan. Penurunan kadar air bahan akan sampai pada tititk kesetimbangan, dimana migrasi air dari permukaan bahan menuju udara kering mengakibatkan konsentrasi air dalam bahan pangan semakin lama, akan se-makin berkurang, dan mengakibatkan turun-nya tekanan uap. Perbedaan tekanan uap se-makin menurun maka penguapan air dalam permukaan bahan akan berkurang. Hal ini mengakibatkan kecepatan perpindahan air dari bagian dalam bahan menuju permukaan juga akan Abu Kadar abu bahan dapat diketahui dengan mengoksidasikan semua zat organik pada suhu tinggi dan kemudian melaku- Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 20 No. 1 [April 2019] 33-44Karakteristik Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar [Irhami dkk]41kan penimbangan zat yang tertinggal sete-lah proses pembakaran tersebut. Kandun-gan abu dan kompisisinya tergantung dari macam bahan Sudarmadji et al., 1994.Berdasarkan hasil analisis kadar abu menunjukkan bahwa kadar abu pati ubi jalar yang dihasilkan berkisar antara dengan rata-rata keseluruhan Hasil analisis sidik ragam terlihat bahwa varietas ubi jalar, suhu pengeringan dan interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap kadar abu pati ubi jalar. Tabel 1. menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar abu yang dihasilkan dari perlakuan antar varieatas ubi jalar dan suhu pengeringan hampir sama dan nilai kadar abu tersebut dapat dikatakan cukup tinggi, walaupun analisis sidik ragam tidak menun-jukkan pengaruh nyata. Menurut Sriwahyuni et al., 2017, kandungan abu yang dimiliki tepung ubi jalar adalah maksimal sebesar Namun pada penelitian, ini kadar abu yang diper-oleh lebih tinggi dari yang penelitian yang dilakukan oleh Sriwahyuni et al., 2017 yaitu sehingga dapat dikatakan bahwa ka-dar abu yang dihasilkan masih terlalu tinggi dari persyaratan yang telah kadar abu dapat disebabkan pada saat proses penggilingan, kandungan mineral menjadi bertambah karena terjadinya gesekan dengan mesin penggiling. Kadar abu juga dapat menunjukkan kandungan bahan selain bahan organik. Kandungan abu mem-pengaruhi mutu pati ubi jalar yang dihasil-kan yaitu warna dan kandungan mineralnya. Kandungan abu yang terlalu tinggi dapat me-nyebabkan warna yang kurang baik pada Pati Kandungan pati ubi jalar yang diper-oleh pada penelitian ini berkisar antara dengan nilai rata-rata kadar pati secara keseluruhan adalah Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa varietas ubi jalar berpengaruh nyata ter-hadap kadar pati ubi jalar, sedangkan suhu pengeringan dan interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap kadar pati yang dihasilkan. Gambar 7 memperlihatkan pengaruh varietas ubi jalar terhadap kadar pati ubi 7 dapat dilihat bahwa varietas ubi jalar yang memiliki kadar pati tertinggi diperoleh dari varietas sukuh dan kadar pati terendah diperoleh dari varietas muara Adanya perbedaan kadar pati tersebut diduga karena setiap varietas memiliki kandungan pati yang tidak sama. Warna daging umbi yang beragam ternyata juga mempengaruhi kadar pati yang dihasil-kan. Varietas sukuh yang berwarna daging umbi putih lebih tinggi kandungan patinya dibandingkan varietas muara yang berdag-ing umbi merah. Lingga 1986 menyatakan bahwa kandungan pati ubi jalar segar ber-beda tergantung dari warna daging umbi. Ubi jalar dengan warna daging umbi putih memiliki kandungan pati ubi jalar dengan warna daging umbi kuning sekitar dan ubi jalar dengan warna dag-ing umbi merah kandungan patinya sekitar Jane et al., 1999, kadar ami-losa dan amilopektin sangat berperan pada saat proses gelatinisasi, retrogradasi dan lebih menentukan karakteristik pasta pati. Imanningsih 2012 menambahkan bahwa gelatinisasi dan sifat pembengkakan dari setiap jenis pati sebagian dikontrol oleh struktur amilopektin, komposisi pati dan arsitektur granula. Ketika pati dipanaskan bersama air berlebih diatas suhu gelatinisas-inya, granula pati yang memiliki kandungan amilopektin lebih tinggi akan membengkak lebih besar dibandingkan dengan yang me-miliki kandungan yang lebih rendah. Namun pati yang berkadar amilosa tinggi mempunyai kekuatan ikatan hidrogen yang lebih besar karena jumlah rantai lurus yang besar dalam granula, sehingga membu-tuhkan energi yang lebih besar untuk gelati-nisasi Richana dan Sunarti, 2004.Uji Organoleptik WarnaPengujian organoleptik merupakan salah satu pengukuran secara langsung pada suatu produk sebagai data kualitatif meng-gunakan manusia sebagai alat ukur. Pengu-jian organoleptik yang digunakan pada pe-nelitian ini adalah uji hedonik yang disebut juga dengan uji kesukaan. Pada uji hedonik, panelis dimintakan tanggapan pribadi ten-tang kesukaan atau ketidaksukaan. Penen-tuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat tergantung pada beberapa faktor di-antaranya citarasa, warna, dan nilai gizinya. Tetapi faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan Winar-no, 1995.Pengujian organoleptik yang dilaku-kan pada pati ubi jalar menunjukkan bahwa Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 20 No. 1 [April 2019] 33-44Karakteristik Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar [Irhami dkk]42rata-rata kesukaan panelis terhadap warna pati ubi jalar yang dihasilkan berkisar antara penerimaan antara biasa sampai suka dengan rata-rata keseluruhan Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa varietas ubi jalar berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat penerimaan panelis pada warna pati ubi jalar. Sedangkan faktor suhu pengeringan dan interaksi antara kedu-anya memberikan yang tidak 8 menunjukkan bahwa pan-elis menyukai warna pati ubi jalar dari vari-etas muara dengan nilai organoleptik warna penerimaan antara biasa sampai suka. Hal ini diduga karena varietas muara yang berdaging umbi merah mengandung karoten yang lebih tinggi dibandingkan varietas jago, lokal, dan sukuh sehingga mempengaruhi warna dari produk pati yang merupakan prekursor vita-min A yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak dan pelarut lemak Andarwu-lan dan Koswara, 1992. Kadar karoten pada pati ubi jalar dapat diperkirakan dari war-nanya, kecuali ubi jalar ungu. Semakin kuat intensitas warna kuningnya semakin besar kandungan karotennya. Kandungan karoten ubi jalar paling tinggi diantara padi-padian dan umbi-umbian lainnya Sukirwan, 2000. Kadarisman 1985 juga menambahkan bahwa adanya senyawa-senyawa polipenol, asam askorbat, dan karoten menyulitkan memperoleh tepung pati berwarna putih yang jenis ubi jalar dapat dibuat men-jadi pati tetapi kualitas pati yang dihasilkan berbeda. Warna pati yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh jenis dan warna umbi ubi jalar yang digunakan Sanifsoetan, 1987. Warna umbi jalar yang berbeda-beda mem-pengaruhi warna dari pati yang dihasilkan tetapi hal ini tidak membatasi penggunaan pati ubi jalar sebagai bahan baku industri karena dapat digunakan sesuai kebutuhan, misalnya pati ubi jalar yang berwarna ungu dapat digunakan untuk produk yang ber-warna coklat sedangkan untuk kue kering dapat digunakan pati yang berasal dari umbi yang dagingnya kuning atau putih Antar-lina, 1999.SIMPULANBerdasarkan pengaruh varietas ubi jalar, rendemen, suhu gelatinisasi, swelling power, dan kadar pati tertinggi diperoleh dari varietas sukuh dan diikuti oleh varietas jago, lokal, dan muara, sedangkan kadar air tertinggi diperoleh dari pati ubi jalar varietas muara dan kadar air terendah dari varietas lokal. Berdasarkan perlakuan suhu penger-ingan, swelling power, dan kadar air tertinggi diperoleh dari perlakuan suhu 60 °C, sedan-gkan swelling power dan kadar air terendah diperoleh dari perlakuan suhu 40 °C. Ber-dasarkan uji organoleptik, pati ubi jalar yang disukai panelis adalah pati ubi jalar varietas muara dengan nilai kesukaan peneri-maan antara biasa sampai suka.DAFTAR PUSTAKAAndarwulan, N, Koswara, S. 1992. Kimia Vi-tamin. Rajawali, JakartaAntarlina, SS. 1999. Pengaruh Umur Panen dan Klon Terhadap Beberapa Sifat Fisik dan Kimiawi Tepung Ubi Jalar. Tesis. Universitas Brawijaya. MalangAfriani, L, H. 2004. Pati termodikasi dibu-tuhkan industri makanan. Dilihat 2 Januari 2006. Alim, E. 2004. Mutu Cita Rasa Rengginang Berbasis Beras Aromatik dengan Me-tode Pengeringan Berbeda. Skripsi. IPB. BogorApriyantono, AD, Fardiaz, l, Puspitasari, Se-darnawati, Budiyanto, S. 1989. Petun-juk Laboratorium Analisis Pangan. IPB, BogorDewi, N, -S., Utami, -R., Riyadi, N, -H., 2012. Aktivitas antioksidan dan antimikroba ekstrak melinjo Gnetum gemon L. Jur-nal Teknologi Hasil Pertanian. 5, 104-112. OR. 2008. Food Chemistry. CRC Press, New YorkGinting, -E., Widodo, -Y., Rahayuningsih, S, -A., Jusuf, -M., 2005. Karakteristik pati beberapa varietas ubi jalar. Jurnal Tan-aman Pangan. 24, 8-18. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 20 No. 1 [April 2019] 33-44Karakteristik Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar [Irhami dkk] -E., Yulianti, -R., Jusuf, -M., 2014. Ubi jalar sebagai bahan diversikasi pangan lokal. Jurnal Pangan. 23, 194-207. -E., Yulianti, -R., Elisabeth, D, A, -A., 2018. Karakteristik sik, kimia, dan sensori ubi jalar pada berbagai pemupukan di lahan pasang surut ka-limantan selatan. Buletin Palawija. 16, 36-45. 1993. Dasar-dasar dan pemanfaatan ilmu dan teknologi pati. Agritech. 13, 37-42Histifarina, -D, Sinaga, R, -M., 1999. Pen-garuh suhu dan lama pengeringan terhadap mutu tepung wortel. Buletin Pasca Panen Hortikultura. 1, 25-30Immanningsih, -N., 2012. Prol gelatinisasi beberapa formulasi tepung tepungan untuk pendugaan sifat pemasakan. Penelitian Gizi Makan. 35, 13-22Jane, -J., Chen, Y, -Y., Lee, L, -F., McPherson, A, -E., Wong, K, -S., Radosavljevics, -M., Kasemsuwan, -K., 1999. Effect of amylopectin brain chain length and amylose content on the gelatinization and pasting properties of starch. Cereal Chemistry. 765 629 – 637. -M., Antarlina, S, -S, Supriantin, Ir-fansyah, Suripan. 1998. Daya dukung klon-klon atau varietas ubi jalar untuk produk-produk pangan. Lokakarya Nasional Pemberdayaan Tepung Ubi Jalar Sebagai Bahan Substitusi Terigu, Balai Penelitian Tanaman Aneka Ka-cang dan Umbi, MalangKadarisman. 1985. Pengaruh Penambahan Kapur, Jumlah Air Ekstraksi dan Lama Pengendapan Terhadap Rendemen dan Mutu Pati Ubi Jalar. Tesis. IPB. BogorKartikasari, S, -N., Sari, -P., Subagio, -A., 2016. Karakterisasi sifat kimia, prol amilogra RVA dan morfologi gran-ula SEM pati singkong termodikasi secara biologi. Jurnal Agroteknologi. 10, 12-24. P. 1986. Bertanam Ubi-Ubian. Penebar Swadaya, JakartaManinder, -K., Sandhu, K, -S., Singh, -N., 2006. Comparative study of the fuc-tional, thermal, and pasting properties of ours from different eld pea Pisum sativum L. and pigeon pea Cajanus ca-jan L. cultivars. Food Chemistry. 104, 259-267. 2012. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap kuantitas dan kualitas pati kentang varietas grano-la. Jurnal Teknologi dan Industri Perta-nian Indonesia. 3426-30. TR. 1989. Teknologi Proses Pengola-han Pangan. IPB, BogorMoorthy, SN. 2004. Tropical sources of starch’. Dalam AC Eliasson ed. Starch In Foods, Structure, function and applica-tions. CRC Press, New YorkNovary, EW. 1997. Penanganan dan Pengola-han Sayuran Segar. Penebar Swadaya, JakartaRahayuningsih, S, A, Jusuf, M, Wahyuni, T, S. 2012. Perkembangan umbi dan pembentukan pati klon-klon harapan ubi jalar kaya β-karotin dan antosianin pada berbagai umur panen. Prosid-ing Seminar Hasil Penelitian Tanaman Anekan Kacang dan Umbi, Balai Pe-nelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang, pp. 580-589Rahman, -N., Fitriani, -H., Hartati, S, -N., 2015. Seleksi ubi kayu berdasarkan perbedaan waktu panen dan ini-siasi kultur in vitro. Prosiding Semi-nar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. 1, 1761-1765. -N., Sunarti, T, -C., 2004. Karak-terisasi sifat sikokimia tepung umbi dan tepung pati dari umbi ganyong, suweg, ubi kelapa dan gembili. Jurnal Pascapanen. 1, 29-37. B, A, S, Narta, Widowati, S. 1997. Studi karakteristik pati ubi jalar. Pro-siding Seminar Teknologi Pangan, Dena-pasar, Bali, pp. 301-307 Sriwahyuni, M, -N., Wijaya, -M., Kadirman. 2017. Pemanfaatan tepung ubi jalar Ipomea btatas L berbagai varietas se-bagai bahan baku pembuatan kue bolu kukus. Jurnal Pendidikan Teknolo-gi Pertanian. 3, 60-71. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 20 No. 1 [April 2019] 33-44Karakteristik Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar [Irhami dkk]44Suismono. 2002. Kajian teknologi pembuatan tepung dan pati umbi-umbian untuk menunjang ketahanan pangan. Ma-jalah pangan media komunikasi dan infor-masi. 37, 37-49Sukirwan, Q, N. 2000. Ubi jalar kurangi resiko buta. Dilihat 2 Januari 2006. Sanifsoetan. 1987. Ubi Jalar. Balai Pustaka, Ja-kartaSoekarto, T. 1985. Penilaian Organoleptik Un-tuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bharatara Karya Aksara, JakartaSwinkles, J, J, M. 1987. Source of Starch, Its Chemistry and Physics’. Dalam Van Beynum GMA dan Roels JA. Starch Convertion Technology. Marcel Dekker, New YorkSudarmadji, S, B, Haryono, Suhardi. 1994. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. PAU UGM, YogyakartaValous, -N., Gavrielidou, M, -A., Karapant-sio, T, -D., Kostoglou, -M., 2002. Per-formance of a double drum dryer for producing pregelatinized maize starches. Journal of Food Engineering. 51, 171–183. FG. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Chem. 765629–637 Structures and properties of starches isolated from different botanical sources were investigated. Apparent and absolute amylose contents of starches were determined by measuring the iodine affinity of defatted whole starch and of fractionated and purified amylopectin. Branch chain-length distributions of amylopectins were analyzed quantitatively using a high-performance anion-exchange chromatography system equipped with a postcolumn enzyme reactor and a pulsed amperometric detector. Thermal and pasting properties were measured using differential scanning calori-metry and a rapid viscoanalyzer, respectively. Absolute amylose contents of most of the starches studied were lower than their apparent amylose contents. This difference correlated with the number of very long branch chains of amylopectin. Studies of amylopectin structures showed that each starch had a distinct branch chain-length distribution profile. Average degrees of polymerization dp of amylopectin branch chain length ranged from for waxy rice to for high-amylose maize VII. Compared with X-ray A-type starches, B-type starches had longer chains. A shoulder of dp 18–21 chain length of nm was found in many starches; the chain length of nm was in the proximity of the length of the amylopectin crystalline region. Starches with short average amylopectin branch chain lengths waxy rice and sweet rice starch, with large proportions of short branch chains dp 11–16 relative to the shoulder of dp 18–21 wheat and barley starch, and with high starch phosphate monoester content potato starch displayed low gelatinization temper-atures. Amylose contents and amylopectin branch chain-length distributions predominantly affected the pasting properties of functional, thermal and pasting properties of flours from field pea LFP-48 and PG-3 and pigeon pea AL-15 and AL-201 cultivars were determined and related to each other using Pearson correlation and principal component analysis PCA. Field pea flours FPF were significantly P < different from pigeon pea flours PPF in their lower ash and higher fat and protein contents. FPF also exhibited higher L∗, ΔE value, water solubility index WSI, oil absorption capacity OAC, foaming capacity FC and lower a∗, b∗ value, water absorption index WAI and water absorption capacity WAC in comparison to PPF. FPF differed significantly from PPF in exhibiting lower transition temperatures To, Tp, Tc, enthalpy of gelatinization ΔHgel, peak height index PHI and higher gelatinization temperature range R. PCA showed that LFP-48 and PG-3 flours were located at the far left of the score plot with a large negative score, while the AL-15 and AL-201 flours had large positive scores in the first principal component. Several significant correlations between functional, thermal and pasting properties were revealed, both by Pearson correlation and PCA. Pasting properties of the flours, measured using the rapid visco analyzer RVA, also differed significantly. PPF were observed to have higher pasting temperature PT, peak viscosity PV, trough viscosity TV, breakdown BV, final viscosity FV and lower setback viscosity SV as compared to jalar sebagai bahan diversifikasi pangan lokalE Html GintingR YulifiantiM JusufGambar 6. Pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar air pati ubi jalar BNT = KK = Ginting, -E., Yulifianti, -R., Jusuf, -M., 2014. Ubi jalar sebagai bahan diversifikasi pangan lokal. Jurnal Pangan. 23, 194-207. php/pangan/article/view/63/57Karakteristik fisik, kimia, dan sensori ubi jalar pada berbagai pemupukan di lahan pasang surut kalimantan selatanE GintingR YulifiantiD ElisabethGinting, -E., Yulifianti, -R., Elisabeth, D, A, -A., 2018. Karakteristik fisik, kimia, dan sensori ubi jalar pada berbagai pemupukan di lahan pasang surut kalimantan selatan. Buletin Palawija. 16, 36-45. dan pemanfaatan ilmu dan teknologi patiHaryadiHaryadi. 1993. Dasar-dasar dan pemanfaatan ilmu dan teknologi pati. Agritech. 13, 37-42Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap mutu tepung wortelD HistifarinaR SinagaHistifarina, -D, Sinaga, R, -M., 1999. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap mutu tepung wortel. Buletin Pasca Panen Hortikultura. 1, 25-30Profil gelatinisasi beberapa formulasi tepung tepungan untuk pendugaan sifat pemasakanN ImmanningsihImmanningsih, -N., 2012. Profil gelatinisasi beberapa formulasi tepung tepungan untuk pendugaan sifat pemasakan. Penelitian Gizi Makan. 35, 13-22Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap kuantitas dan kualitas pati kentang varietas granolaMartunisMartunis. 2012. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap kuantitas dan kualitas pati kentang varietas granola. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia. 3426-30. https//doi. org/
hFl5mRG. 37qyc5fm56.pages.dev/38437qyc5fm56.pages.dev/43337qyc5fm56.pages.dev/56037qyc5fm56.pages.dev/10337qyc5fm56.pages.dev/26437qyc5fm56.pages.dev/53737qyc5fm56.pages.dev/45037qyc5fm56.pages.dev/482
media pengeringan dengan bahan serealia paling murah dan mudah yaitu